Para praktisi pendidikan, khususnya para guru sebaiknya belajar menulis. Menulis dalam pengertian bukan seperti belajar membuat kata dari alphabet, atau kalimat dari kumpulan kata. Menulis dalam paradigma saya adalah menulis untuk sebuah karya. Baik untuk konsumsi pribadi maupun konsumsi publik. Menuangkan gagasan dalam wujud karya non-fiksi atau fiksi, bahkan untuk sekadar catatan harian sebagai refleksi kehidupan. 

Beberapa penulis yang kerap kali tampil di hadapan publik merupakan orang-orang yang juga berprofesi sebagai guru. Sebut saja Hernowo yang merupakan guru bahasa Indonesia yang sangat produktif menulis. Baik dalam wujud artikel, apalagi buku non-fiksi. Berbagai kiat menulis dalam bukunya, ‘Mengikat Makna’ dipaparkan dengan sangat cermat, gamblang, dan mengalir. Dari mana kebiasaan menulis itu dipulung? Jawabannya dari pembiasaan diri menulis. Di samping nilai lebih dari kebiasaan membaca buku yang kemudian dirangkai kembali dalam bentuk tulisan. 

Ada juga sosok Agus Hermawan yang belakangan hari telah menulis beberapa buku dari refleksi kehidupan sehari-hari maupun buah pikiran atas gejala sosial dan pendidikan di sekitarnya. Agus Hermawan juga seorang guru yang membidangi mata pelajaran Kimia di salah satu sekolah negeri di kota Bandung. Dari refleksi kehidupan sehari-hari, buku-bukunya yang kini menjadi literatur para penikmat buku di tanah air adalah ‘Agar Otak Tidak Beku Ajaklah Berselancar’, ‘Belajar dari (Model) Kehidupan’, dan ‘Jangan Caci-Maki Kegelapan: Nyalakan Sebatang Lilin.’ 

Belakangan hari, Agus Hermawan menjadi konsultan saya dalam menulis. Dari buah tangannya saya akhirnya benar-benar keranjingan menulis. Tentu saja sebahagian juga merupakan efek dan kebiasaan banyak membaca buku yang saya serap dari pengarang-pengarang lain seperti karya-karya Andrias Harefa, Izza Ahsin, Helfi Tiana Rosa, Jonru, dan banyak penulis lainnya. 

Seorang guru memiliki spesifikasi keilmuan yang tidak semua orang memilikinya. Seorang guru Kimia tahu betul tentang teori-teori kimia dan implementasinya. Seorang guru bahasa juga sangat kompeten dalam soal-soal kebahasaan dan sastra. Seorang guru Penjaskes atau guru olahraga juga memahami arti penting kesehatan bagi diri dan lingkungan. Guru Sosiologi memahami gejala-gejala sosial dalam masyarakat. Dan yang paling penting juga, seorang guru matematika dan ilmu eksak lainnya pasti mengetahui letak keunggulan dan kelemahan dalam belajar matematika. 

Dari semua mata pelajaran di sekolah itu, bila guru-guru kreatif dan mau berinovasi sambil tentu saja mengekspresikan kecakapannya dalam menulis tentu ilmu yang banyak faidahnya itu bisa diramu dalam wujud karya. Barangkali bisa menulis tentang kiat-kiat belajar ilmu matematika dengan mudah, asyik dan tidak terkesan menakutkan. Untuk guru bahasa bisa menulis tentang kecakapan berbahasa, cara menyampaikan gagasan di depan umum, kiat-kiat berpidato tanpa teks. Guru sosiologi bisa menulis tentang kriminalitas di tengah-tengah masyarakat, faktor penyebab dan solusinya. Guru agama bisa menulis tentang ajaran agamanya dengan bahasa yang lebih santun dan terkesan mudah dijalankan. 

Betapa banyak orang yang dapat menyerap ilmu lebih banyak bersumber dari bahan bacaan dibandingkan dengan mendengar ceramah-ceramah, seminar, pidato dan semacamnya. Pembicaraan secara verbal tidak selamanya bisa diingat oleh kepala kita. Demikian juga seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan motivasi yang kerapkali dikunjungi tidak selamanya terngiang di memori. Lalu apa solusi yang paling efektif untuk mengikat semua ilmu yang diperoleh dari sekolah kehidupan itu? Jawabannya, menulis.  

Tuliskan apa yang didengarkan dari ceramah, seminar, pidato, diskusi, talk show, debat, atau bahkan dari pembicaraan orang lain yang berdampak bagi kehidupan kita. Dengan menulis, ilmu yang datang akan termaktub dalam tulisan sehingga dengan mudah dapat dibaca dan diingat kembali. 

Sesungguhnya ilmu yang banyak itu, yang bersarang di kepala itu bisa mewujud menjadi sebuah tulisan yang ‘lezat’ dan ‘nikmat’ manakala bisa ditulis oleh sang guru. Inilah mungkin salah satu keutamaan dalam kemampuan menulis bagi guru. Nyata sekali guru yang terbiasa menulis dengan yang ‘gagap’ menuangkan idenya.  

Dalam banyak kasus, para pendidik itu sesungguhnya sangat ingin menuangkan idenya dalam bentuk tulisan utuh tetapi terkendala kosa kata, diksi atau pilihan kata. Yang lebih parah banyak yang tidak tahu bagaimana memulai menuliskan kalimat pertama dalam satu alinea sederhana. Untuk memulai menulis dengan berbagai kiat dan variannya telah banyak penulis yang memberikan panduannya melalui buku-buku yang beredar di pasaran. Ada banyak terpajang di toko buku. Beli bukunya, baca dan resapi, kemudian praktikkan. 

Seorang dosen yang sangat produktif menulis, yang berdomisili di Banjarmasin, memberikan tips menulis yang sangat sederhana dan gampang dilakukan. Pada intinya dia menyarankan, kalau mau menulis ditulis saja. Tulis apa yang mau ditulis. Abaikan kualitas. Yang penting hasil dulu, karya. Tidak peduli apa jadinya. Menulis ya menulis. 

Suhu menulis saya ini bisa dibaca karya-karyanya di www.webersis.com. Bahkan dari tulisannya pun yang kemudian buku-bukunya diberikan gratis kepada saya, memacu diri saya untuk menuliskan apa saja yang ada di kepala tanpa menghiraukan baik atau buruk hasilnya. Saya seorang guru bahasa yang sebenarnya juga sedang belajar menulis dari para penulis yang sudah ‘menjadi’. Bukan karena latar belakang saya dari pendidikan bahasa sehingga memahirkan saya menulis ide-ide di kepala. Sekali lagi bukan. Kuncinya adalah latihan yang berkesinambungan. Ibarat pisau atau pedang. Bila terus diasah akan tajam, bila didiamkan hingga tidak pernah diasah akan tumpul. Seperti itulah menulis. 

Apa jadinya bila seorang guru dapat menulis karya pribadinya? Bagaimana rasanya bila buku atau tulisannya yang dianggap sederhana tiba-tiba muncul dimuat di media? Bagaimana perasaannya dan bagaimana pula efek popularitasnya? Yang pasti untuk hal ini, poin pertama adalah, kepuasan batin, kebahagiaan yang bertumpuk-tumpuk. Untuk efek popularitas hanya soal dampak, walau tidak menjadi tujuan tetapi akan mengiringi sesuai mutu tulisan yang digagas. Ada banyak orang yang telah merasakannya. 

Saya teringat beberapa tahun lalu ketika masih berstatus mahasiswa di Universitas Negeri Makassar. Saya belajar menulis pertama kali ketika mengikuti mata kuliah ‘menulis’. Betapa susahnya menulis artikel sederhana sesuai petunjuk dosen. Jangankan kalimat-kalimat yang bagus alias menarik dan nyentrik, yang sederhana pun begitu berat. Tangan rasanya kaku. Memulai kalimat awal sebentar-sebentar mentok, pas di tengah jalan buntu lagi. Akhirnya tulisan tidak jadi apa-apa alias menjadi sampah. Menulis lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya nilai untuk mata kuliah ‘menulis’ adalah Bravo (B). Sedikit mengecewakan namun tidak mematikan semangat berkarya dalam jiwa saya. 

Pertanyaannnya, apakah kemampuan menulis seseorang dipengaruhi oleh spesialisasi ilmu yang didalaminya? Jawaban yang jujur adalah TIDAK. Sekali lagi, TIDAK. 

Ada banyak penulis yang ‘lahir’ dan melahirkan karya bukan karena latar belakang pendidikannya dari jurusan sastra atau kebahasaan. Kemampuan menulis itu sangat dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan kegemaran. Bahkan jaminan kualitas kepenulisan itu sendiri merupakan buah dari jam terbangnya saja. Semakin sering menulis, semakin banyak karya, maka semakin kuatlah pengaruh aktivitas menulis bagi seseorang. Maka jangan kaget, seorang sahabat saya bisa menulis sambil makan atau menonton televisi. Bahkan ketika sedang mengangkat telepon satu artikel bisa dituntaskannya. Wah, hebat.  

Kreativitas menulis sangat penting bagi seorang guru. Di luar motivasi untuk portofolio dan akreditasi tentunya, menulis mematangkan kecerdasan. Maksudnya? Coba analisis, mengapa banyak guru terkadang lupa teori-teori yang dahulu dihapal luar kepala (makanya menghapal di dalam kepala, jangan di luar kepala! hehehe)? Salah satu penyebabnya adalah karena ilmu itu tidak diikat. Makna-makna yang dipahami dari beragam teori tidak ditulis. Maka benarlah kata seorang sahabat Nabi Muhammad, yakni Ali Bin Abi Tholib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. 

Ilmu akan dilupakan bilamana tidak diabadikan dalam wujud tulisan. Inilah yang berpulu-puluh abad dilakukan oleh para cendekiawan pada masanya. Betapa banyak kitab yang ditulis oleh para ilmuwan yang kini kita nikmati sekarang. Ilmu mereka adalah warisan berharga bagi peradaban dunia. Bagaimana mengetahui jejak mereka pada masanya, semua tertuang dalam tulisan. Sedikit banyak ilmu yang kita serap bersumber dari bahan bacaan yakni buku atau literatur semacamnya. Oleh karena itu, seorang yang telah berhasil menuliskan gagasannya, baik yang sederhana ataupun yang memikat, selama menjadi konsumsi banyak orang berarti telah berhasil mewariskan ilmunya, berarti telah menyumbangkan ilmu bagi peradabannya. Maka semakin cerdaslah ia dengan beragam manfaat dari ilmu yang ditularkannya melalui tulisan. 

Alangkah bahagianya sosok Agus Hermawan ketika mengetahui tulisannya layak dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung. Dari secuil gagasannya di Forum Guru, menjadilah ia sosok guru yang produktif menulis. Tidak terbayang pula bagaimana perasaan guru-guru yang lain bilamana karya mereka diterbitkan oleh surat kabar atau penerbit buku. Padahal mereka menganggap tulisannya belum layak tampil ke ruang publik.  

Alangkah bahagianya bila seorang guru bisa berbagi ilmu dengan menulis artikel atau buku. Paling sederhana menulis refleksi tentang pengalaman-pengalaman hidupnya untuk dijadikan pedoman atau teladan bagi pembaca karyanya. Tak perlu terlalu jauh, ada banyak kisah menarik di sekolah dan di rumah. Hanya menunggu kemauan saja untuk memulai menulis.  

Nah, tertantangkah Anda untuk membagikan pengalaman hidup dalam bentuk tulisan? Abaikan dahulu perkataan Barbara Tuchman, “Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek”. Mulailah dari hal-hal sederhana di sekitar kita. Seperti kata Andrias Harefa, tulis apa yang didengar, tulis apa yang dilihat, tulis apa yang dirasakan, dan sebagainya. Mudah, bukan? 

Untuk membiasakan diri menulis dan mengasah kemampuan dasar menulis serta ‘memaksa’ dan merangsang diri menulis, Dr. Pennebaker’s membagikan tipsnya sebagai berikut. 

“Over the next four days, write about your deepest, emotions and thoughts about the emotional upheaval that has been influencing your life the most. In your writing, really let go explore the event and how it has affected you. You might tie this experience to your childhood, your relationship with your parents, people you have loved or love now, or even your career, wrote continuously with 20 minutes.” 

Anda guru atau bukan? Tidak masalah, ayo kita menulis!


Saya menangis karena tak punya sepatu, sampai saya melihat orang yang tak punya kaki.”
_Pepatah Persia Kuno

Lead tulisan di atas merupakan kutipan yang saya pulung dari buku ‘700 Motivasi Dahsyat Pengguncang Dunia’ karya Ida Prastiowati, seorang penulis buku best seller Inspiring Words. Untuk memastikan bahwa kutipan motivasi, atau barangkali lebih tepat saya sebut inspirasi, tersebut benar-benar sakti alias berefek pada pembaca, saya coba mengirimkannya kepada sahabat-sahabat melalui surel. Beberapa menit berlalu, ponsel saya pun bergetar, tanda adanya pesan replay. Benar saja, beberapa teman mengapresiasi. Seorang di antaranya justru menyampaikan terima kasih.

Hal yang menarik ketika replay pesan saya datang dari Jawa Barat, tepatnya di kota Bandung. Seorang sahabat menulis begini: Saran: bisa dikembangkan menjadi sebuah artikel, Mas. Untuk memastikan bahwa saya masih produktif menulis, saya jawab tantangan tersebut. Hasilnya adalah tulisan yang sedang Anda baca ini.

Saya menangis karena saya tak punya sepatu….” Mengupas makna, pesan tersirat dari kalimat tersebut merujuk pada habit orang-orang di sekitar kita. Kadangkala, kebutuhan dan keinginan yang tidak diraih membuat pelakunya nelangsa dan bersedih, bahkan menyesali keadaannya. Apa yang diimpikan, bila diraih dengan mudah dapat membuat hidup terasa bahagia gimanaaa gitu. Sebaliknya, bila impian tersebut jauh dari harapan, maka sebahagian besar orang memilih sikap menggerutu, sesal, sedih dan menyesali nasib.

Pesan ini sarat makna sebab mewakili hampir semua sifat dasar manusia, kurang syukur terhadap keadaannnya, kurang rela menerima takdirnya karena merasa selalu ‘kekurangan’ walau secara hakiki mereka terbilang kaya. Sikap itu, secara tidak sadar memvonis keadaan diri sendiri hingga berakibat pada tumbuhnya penyesalan never end. Ini indikasi bahwa seorang yang dijangkiti penyakit kurang syukur bisa terjerumus ke dalam kufur nikmat. Kurang syukur salah satu penyebab kufur. Bahkan Allah menegaskan, “sedikit sekali manusia itu bersyukur

Menyambung pepatah di atas “… sampai saya melihat orang yang tak punya kaki.” Insya Allah, klausa ini sangat manjur menjadi penawar hati bagi mereka yang kurang syukur alias banyak keluh kesah terhadap nikmat yang luput dari genggaman ikhtiarnya. Padahal manusia diberi sesuatu, bahkan banyak hal, secara cuma-cuma alias gratis dari Yang Maha Memberi.

Secara singkat, pepatah kuno ini memuat tips untuk tetap menjaga rasa syukur manusia  terhadap nikmat-nikmat pemberian Allah. Rahasianya, bila punya niat menjadi manusia ahli syukur,  lihatlah keadaan orang yang jauh di bawah sana. Maksudnya, jauh strata sosial maupun komersialnya. Bandingkan nikmat besar yang selama ini kita manfaatkan sebagai pemberian dan karunia Sang Khalik dengan nikmat-nikmat orang lain yang ‘tidak lebih baik’. 

Untuk menambah rasa syukur, mungkin beberapa pertanyaan sederhana berikut perlu kita cari tahu jawabannya.

Mengapa ada orang yang tidak memiliki rumah hunian yang megah, bahkan tinggal di gubuk jerami tampil dengan gagah berani menjalani kehidupannya? 

Mengapa ada banyak orang yang tidak ‘sempurna’ kehidupannya, misalnya tidak punya kaki atau pincang, tidak punya mata alias buta, tidak dapat bersekolah tinggi karena tercekik biaya, tidak dapat berbicara karena bisu, tidak dapat mendengar karena tuli, tidak tumbuh subur alias kerdil karena kekurangan gizi, dan tidak bisa-tidak bisa lainnya namun mereka dapat hidup seperti manusia-manusia normal di sekelilingnya? 

Jawabannya, karena mereka tidak mengeluh. Mereka pandai bersyukur. Mereka menerima dengan ikhlas pemberian Tuhannya. Mereka meyakini bahwa keadaan mereka hanya karena ketidaksempurnaan fisik dan itu bukan penghalang untuk bangkit menjadi yang terbaik di mata Allah. Untuk cacat secara ruhani atau jiwa, itu lain soal sebab cacat fisik itu tidak ada hubungannya dengan jiwa alias iman.

Nah, sebaliknya, mengapa sebahagian manusia mengeluhkan keadaannya karena merasa tidak lebih beruntung dari orang yang kaya, merasa tidak lebih bahagia karena tidak punya kendaraan mewah, dan semacamnya? Jawabannya juga klasik, mungkin sifat syukur telah hilang dari jiwanya. 

Ketika berkeinginan sesuatu dan tidak dapat dipenuhi, maka berkacalah dari keadaan saudara-saudara kita di bawah kolong jembatan. Bila ingin makanan enak dan tidak dapat terpenuhi, maka bercerminlah dari para pengais makanan di tong-tong sampah. Bila ingin sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi sarjana namun tidak tercapai karena keterbatasan biaya, maka belajarlah dari orang-orang kecil yang kini sukses tanpa sekolah tinggi, tanpa gelar-gelar yang melekat di belakang nama mereka, bahkan tanpa pendidikan formal yang mumpuni. Insya Allah, kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur dan mampu mengendalikan keinginan yang sebenarnya tidak perlu. 

Terakhir, untuk sahabat saya Agus Hermawan, terima kasih telah ‘menasihati’ saya untuk menulis Pelajaran Bersyukur ini. Dari kalimat-kalimat dalam tulisan yang saya rangkai ini, saya pun dapat belajar arti penting ‘berbagi’ bagi banyak orang, termasuk bagian penting dari rasa syukur memiliki sahabat seperti  Uwa ketika saya ‘kehilangan’ sahabat-sahabat terbaik.




“Pendidik diidentikkan dengan guru, mempunyai makna ‘digugu dan ditiru’ artinya mereka menjadi contoh dan panutan.” 

Keberhasilan pelajar di sekolah tidak hanya ditentukan oleh antusiasme belajar yang tinggi. Banyak penopang hal itu mewujud menjadi prestasi gemilang. Tidak banyak orang menyadari bahwa keberhasilan, alias prestasi yang digapai oleh pelajar-pelajar kita sesungguhnya bukan murni hasil jerih payah si pembelajar sendiri. Ada peran penting para guru di sana, di samping peran signifikan dari para orang tua.

Menelaah hal tersebut, maka kita perlu bercermin, bahwa mencetak pelajar yang hebat dimulai dengan mencetak guru yang hebat. Ini bukan soal cetakan dari kampus A atau kampus B, bukan pula soal guru tersertifikasi atau belum tersertifikasi. Yang pasti, guru hebat melahirkan pelajar yang hebat (semestinya demikian), sebaliknya pelajar hebat karena didikan dan teladan dari guru-guru yang hebat. Entah, dari sumber mana pun guru itu “dilahirkan”.

Pertanyaan saya sederhana, sebagai seorang guru, sudahkah memiliki kompetensi yang masuk kategori “hebat” itu? Menjawab pertanyaan ini juga cukup sederhana. Coba kita cermati, seberapa antusias siswa-siswi mengikuti mata pelajaran yang diampu? Atau cermati, seberapa senang siswa berlama-lama mendengar dan menyimak “ceramah-ceramah” di dalam kelas? Dua pertanyaan argumentasi ini setidaknya bisa menjawab kompetensi diri sebagai seorang pengajar dan pendidik di hati siswa.

Kesalahan fatal seorang guru bertumpu pada “pemaksaan” kepada siswa untuk bisa menjadi unggul namun tidak dibarengi dengan motivasi dan keteladanan yang nyata dari sosok pribadi sang guru. Nah, sebut saja pribahasa klasik “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ini bukan soal kencing mengencingi. Guru itu teladan. Guru itu orang tua. Contoh nyata bagi siswa. Prestasi siswa itu lahir karena prestasi sang guru. Nah, kalau gurunya tidak hebat, bagaimana siswanya bisa hebat?
Gagasan sentral tulisan ini sesungguhnya ingin menyuguhkan secuil ide bagaimana menjadi guru yang hebat. Hebat, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) berarti terlampau, amat sangat (dahsyat, ramai, kuat, seru, bagus, menakutkan, dan sebagainya). Namun, karena kita bicara tentang guru yang hebat, maka sejumlah defenisi itu perlu kita sinkronkan dengan “kehebatan” sosok guru. Maka mewujudlah satu eksposisi tentang pengertian bahwa guru yang hebat adalah guru yang memiliki kompetensi (sesuai bidangnya) yang dapat memberdayakan para pelajar yang dididik dan diajarinya. 

Kompetensi sendiri bermakna global. Tanpa memilah-milih kompetensi seperti apa yang dimaksud, kompetensi seorang guru bertalian dengan kompetensi intelektual (dengan berbagai bidangnya), emosional, dan spiritual. Ketiga hal ini penting mengingat kompetensi intelektual sendiri telah nyata tidak banyak melahirkan pelajar yang bermoral. Berpretasi akademik di sekolah belum tentu berprestasi secara sosial di masyarakat.

Secara spesifik, guru hebat memiliki karakter berikut ini:
  • Kompeten di bidangnya
  • Kreatif menyuguhkan materi pembelajaran di kelas
  • Antusias alias bersemangat melakukan trasfer ilmu
  • Kepedulian yang tinggi terhadap  hambatan belajar siswa
  • Menjadi sahabat para siswa bahkan kawan curhat
  • Stimulus respon yang positif untuk membangkitkan gairah belajar
  • Teladan dalam prestasi (bersifat akademik dan non-akademik)
  • Ikhlas dan bertepa selira terhadap “kekurangan” siswa dengan berpegang pada falsafal “tidak ada siswa yang bodoh”
Poin-poin di atas tentunya bukan merupakan hal mutlak yang patut dijadikan “catatan sakral” menjadi guru yang hebat. Setiap kepala (para guru) memiliki cakrawala berpikir kreatif bagaimana menjadi guru berkarakter hebat. Bergantung bagaimana seorang guru memiliki kesadaran menjadi sosok yang tidak biasa-biasa saja di mata dan hati para siswanya. Saya pun masih belajar dan berusaha mengamalkan poin-poin yang saya tuliskan di atas.

Saya kerapkali mencermati bahwa siswa yang ketinggalan dalam banyak mata pelajaran di kelas sebagai akibat dari pengaruh guru dalam menyajikan “suplemen ilmu” di kelasnya masing-masing. Hal ini bertalian dengan metode. Barangkali itulah sebabnya, mengapa ada banyak siswa sangat senang belajar satu mata pelajaran dan sangat “takut” mengikuti mata pelajaran yang lain. Nah, kalau sejak awal di kelas guru tidak memiliki tempat di hati siswa, akan sangat sulit membongkar mental block tentang sulitnya sebuah mata pelajaran.

Merujuk kembali judul tulisan ini, Guru Hebat, Pelajar Hebat. Tentu hal ini bukan persoalan sederhana namun sangat penting untuk dikaji dan dipelajari. 
 
Bila mengingat masa sekolah dulu, saya memiliki kesulitan belajar dalam mata pelajaran Bahasa Inggris saat duduk di kelas satu SMA. Bukan karena gurunya yang bodoh, namun saya mengalami kesulitan dalam menikmati setiap teori yang diajarkan di kelas. Menginjak kelas dua, pun kesulitan yang sama saya rasakan. Hal yang berbeda ketika saya duduk di kelas akhir, kelas tiga. Saya lebih menikmati pelajaran bahasa Inggris dibandingkan saat saya duduk di kelas satu dan dua. Hasilnya tentu berbeda karena metode guru yang berbeda.

Pertanyaan yang menggelitik saya, mengapa hal itu bisa terjadi? Hmmm, ternyata metode guru dalam menyuguhkan pembelajaran itulah penyebab utamanya. Bagaimana mungkin siswa bisa menikmati materi pelajaran kalau guru hanya berperan mengarahkan untuk membaca dan menjawab soal. Sementara tuntutan pendidikan bukan sekadar memahami teori-teori dengan baik, namun lebih kepada bagaimana bisa mengimplementasikan ilmu yang diajarkan itu. Aktualisasi diri. Nah, hal itu sangat dipengaruhi oleh kompetensi guru dalam meramu pembelajaran yang menarik, tidak membosankan, dan tidak terkesan sulit.

Contoh kasus yang lebih sederhana. Guru bahasa mengajarkan siswa tentang mengarang namun harus dengan struktur baku sesuai Ejaaan yang Disempurnakan. Salah tatabahasa atau diksi berarti nilainya kurang. Weleh-weleh, bagaimana bisa mencetak penulis kalau pemula saja diajarkan harus langsung profesional. Itulah, itulah kendala pendidikan di negeri ini. Kita dituntut profesional hanya pada teori dan materi, tidak terfokus pada kompetensi dan aktualisasi diri.

Saya seorang guru seperti juga pembaca, baik dalam konteks formal, nonformal, dan informal. Kompetensi yang dimiliki untuk menjadi unggul atau profesional sangat menentukan keberhasilan belajar para pembelajar yang diajar, dididik, dan dibina. Jangan “binasakan” mereka seperti kita tidak senang “membinasakan” diri dalam kehidupan yang semakin kompetitif ini. Oleh karenanya, menjadi guru hebat untuk mencetak para pelajar hebat harus dimulai dari diri seorang guru. 

Sepukat? Eh, sepakat?


Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!