Judul ini mungkin begitu sederhana. Sesederhana isinya. Namun, bagi saya, tidak banyak orang yang bisa menjadi ramah dengan sifat-sifat yang dipaksakan. Keramahan itu sulit, sulit bagi orang yang tidak terbiasa. Menjadi ramah sudah bukan hal tabu. Keramahan ini merupakan sifat yang baik lagi terpuji sebab tidak semua orang memilikinya. Orang yang ramah cenderung memiliki banyak teman dan hubungannya dengan orang banyak akan ebih berkesan dan berdampak baik, tentunya.
Menjumpai orang-orang ramah butuh perjuangan, tentunya. Perjuangan dalam pengertian kebiasaan untuk menegur orang dalam komunikasi yang baik. Ada banyak orang ramah yang sering dianggap kurang ramah karena tutur kata yang tidak berkesan. Ada banyak orang ramah yang menjadi kurang ramah karena perilaku kurang ramah dari orang lain. Orang ramah akan menjadi ramah bila kita ramah. Namun, kabar baiknya, ada orang ramah yang benar-benar ramah tanpa didahului oleh keramahan. Ya, dan manusia-manusia seperti itu ada di sekitar kita. Nyata.
Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang ramah? Yang ketika kita menjumpai mereka, senyum mereka merekah. Bahasa mereka mengalir santun dengan kata-kata penuh kelembutan. Sapaannya menjadikan jiwa dan hati kita terenyuh, dan tanpa sadar bahasa kita mengalir, “alangkah baiknya orang itu”.
Orang-orang ramah biasanya berasal dari keluarga yang baik-baik. Namun demikian, ada juga orang ramah yang menjadi ramah karena lingkungan yang membentuknya. Ada orang ramah yang bahkan latar belakang hidupnya penuh dengan ujian. Mereka menjadi ramah karena keadaan yang menuntutnya demikian. Yang paling berkesan, orang-orang yang menjadi ramah karena kebaikan hati dan amal-amalnya. Semoga saya, dan Anda termasuk kategori ramah tersebut. Ya, semoga demikian adanya.
Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Luar biasa bukan karena kehebatannya dalam “menaklukkan dunia.” Keluarbiasaan itu karena kebaikan akhlaknya. Ketika mendekati mereka, tawaran untuk mengulurkan tangan pun dilakukannya. Saat dalam kesulitan, tidak jarang mereka membuka diri untuk menjadi teman curhat. Bahkan dengan orang yang baru dikenalnya sekali pun. Anda pernah mengalaminya?
Orang ramah itu sungguh menyejukkan jiwa. Tidak salah bila Rasulullah sebagai contoh manusia dengan akhlak yang baik dari kepribadian seorang muslim yang baik sepanjang zaman, menjadi manusia nomor wahid yang menjadi teladan dalam keramahan.
Bila kita melirik kamus bahasa Indonesia, ramah artinya baik hati dan baik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul, dan menyenangkan. Wah, alangkah menyenangkan memiliki kawan seperti itu, ya. Sepertinya, pengertian yang lebih kompleks tersebut, amat sulit menemukan orang ramah yang sempurna itu. Sebagai seorang muslim, keramahan yang komplit itu hanya ada pada diri Rasulullah sebagai sebaik-baiknya manusia. Namun, setidaknya, memiliki keramahan sebagai manusia yang baik, walau tidak secara kompleks, sudah memiliki nilai sendiri dalam men-judge seseorang itu baik.
Melalui tulisan singkat ini, semoga saya dan pembaca bisa memahami arti penting keramahan. Walau terkesan kurang mendapat perhatian banyak orang, namun ramah tetaplah menjadi tuntutan di tengah banyaknya orang yang begitu kasar dalam bertutur kata, tertutup dalam pergaulannya, dan terkesan kurang menyenangkan saat bertemu dengannya. Ada model manusia yang sangat tidak membahagiakan saat berjumpa dengan mereka. Ada juga model manusia yang ketika tidak ada, kehadirannya sangat diharapkan.
Pernah mendengar orang berteriak dengan kalimat-kalimat yang jorok? Pernah mendengar orang bersumpah serapah memaki keluarga dan kawan-kawannya? Pernah melihat orang yang begitu bersemangat mengumbar aib sahabat dan saudaranya sesama muslim yang mengaku beriman? Pernah menemukan model manusia seperti itu? Kalau pernah, saya sangat yakin, kehadiran mereka di tengah-tengah orang sangat tidak diidamkan. Setiap kali berjumpa dengan mereka, orang-orang menutup telinga agar tidak mendengar celaannya. Saat bertatap muka, mereka begitu bangga menceritakan kebaikan dirinya dan memojokkan kebaikan orang lain di belakangnya. Hmmm, alangkah buruknya manusia seperti itu. Itu ibarat pepatah, semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Saya yakin, orang-orang model itu begitu sunyi kehidupannya. Hari-harinya dilalui penuh kepayahan sebab orang-orang baik kerap menjauh darinya. Orang baik, tentu berharap banyak kebaikan dari orang yang baik pula. Orang yang ramah juga berharap baik dari keramahan orang lain. Sebaliknya, orang yang akhlaknya buruk kecenderungannya bergaul dengan orang yang memiliki akhak serupa mereka.
Sebagai catatan akhir, orang-orang ramah itu pastilah banyak kawannya. Bahkan memungkinkan, orang-orang akan senang bersahabat dengannya sebab baiknya akhlak yang mereka miliki. Orang-orang akan senang berjalan dan bergaul bersama mereka. Setiap kebaikan akan menghampiri mereka. Tidak jarang, ketika menghadapai masalah, orang-orang akan bersedia menjadi penolongnya tanpa diminta. Begitulah, orang baik akan baik kehidupannya. Sebaliknya, orang yang kasar lagi bengis, jelaslah sedikit kawan-kawan baiknya kecuali mereka yang juga buruk akhlaknya. Saya kira demikian adanya.
Semoga, saya dan pembaca bisa menjadi orang-orang baik dengan akhlak ramah kepada siapapun yang kita jumpai. Minimal mencontoh akhlak Rasulullah sebagai sebaik-baiknya manusia yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan di dunia ini. Ya, semoga. Allahumma aamiin.
Pernah bertemu kawan lama? Hmmm, bagaimana rasanya? Senang, sedih, atau malah kabur karena ingat utang yang belum dibayar? Hehehehe. Kawan lama itu seperti mutiara. Begitu barangkali. Kalau bertemu dalam rentang waktu yang lama, ada kebahagiaan meliputi jiwa. Apalagi kawan lama itu sahabat kita sendiri.

Ada bahagia bercampur haru, tentunya. Namun, di balik pertemuan dengan kawan lama itu, menggantung banyak pertanyaan, masihkah dia seperti dahulu? Atau, mungkin dia sudah berubah, dan tidak lagi menjadi kawan yang asyik diajak ngobrol dan tertawa bersama? Hmm, mungkin itu sudah lumrah, dan tentu saja wajar sebab perpisahan lama bisa jadi mengubah segalanya.

Alinea kedua di atas mungkin pernah menjadi pengalaman Anda, tak terkecuali saya. Namun, tetap ada rasa senang berjumpa dengan mereka. Baik dengan karakternya yang sudah mulai berubah, apalagi bila mereka masih begitu-begitu saya, atau mungkin makin ancuuuur? Walah.....

Rehat Sejenak....
Hey, apa kabar? Lama ya, kita tidak bertemu? Bagimana kabarnya, kabar keluarga? Eh, anak dan istri sudah berapa, nambah lagi kah? Sekarang kerja di mana? Ke mana saja, kok tidak pernah kelihatan? Wah, begitu senangnya bertemu kawan lama. Ini pertanyaan-pertanyaan klasik kalau jadi korban pertemuan kawan lama yang sedikit cerewet.

Atau ada juga komentar begini, wah si Budi sudah berubah ya, tidak seperti dulu lagi. Sekarang dia susah diajak ngobrol, tiba-tiba jadi pendiam. Pokoknya gak enak diajak main. Nah, ini saya pelakunya, tapi gak separah itu juga sih.

Bagi saya, bertemu kawan lama bagai mengingat kembali masa lalu. Palagi masa kecil ketika masih senang bermain gundu di lapangan. Pas waktu hujan deras pula. Wah, senang dah hujan-hujanan sambil telanjang, uppps. Kalau lagi nakal-nakalnya, lempar mangga tetangga di pohonnya. tau ngejekin si dia yang lagi jatuh cinta. Walah, masih kecil kok jatuh cinta, apa kata bapaknya?

Sebagaian kawan lama masih bisa ditelusuri jejaknya. Ada yang sudah meraih gelar tinggi, kerja di kantoran, jadi pengusaha, mungkin jadi tenaga kerja di negeri orang, hingga yang namanya sudah dikubur tanah karena mangkat.

Bertemu kawan lama ini sangat membahagiakan. Apalagi bila mereka adalah sahabat kita. Sahabat yang sangat kita cintai. Eh, ini bukan naksir-naksiran loh ya. Tapi murni persahabatan. Kalau ketemu pengennya meluk karena memendam rindu. Paling banter, ngajak makan bareng atau liburan bersama keluarga. Ya, buat seru-seruan mengenang masa lalu, mungkin masa kecil kalau dia teman bermain di kampung.

Kawan-kawan yang sudah jauh, ke mana kalian? Ayao sambangi saya di sini. Semoga kalian dalam lindungan Allah, di mana pun kalian berada, Kawan lama, kutunggu kalian di sini, di kota perantauan.


Menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial, sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja ‘alamiah’, seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah satu kebutuhan dasar.”_Radhar Panca Dahana

Dengan atau tanpa bimbingan dari orang, satu tekad kuat dari seseorang yang ingin menulis pasti dapat melahirkan karya. Menulis itu bisa jadi asyik dan menyenangkan bila kita menyisihkan waktu untuk fokus. Sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Begitu kata pepatah. Menulis sedikit demi sedikit akhirnya menghasilkan karya. Dan dari hasil itulah seseorang belajar dan mempelajari teknik menulisnya sendiri. Dengan begitu, menulis jelas bukan beban.

Kaizen, barangkali pernah mendengar dan membaca istilah ini pada banyak literature dalam pengembangan perusahaan dan organisasi. Kaizen lebih popular melekat pada kehidupan masyarkat Jepang yang kemudian merambah dunia. Dunia Barat sendiri mengadopsinya sebagai suplemen untuk menstimulus semangat para pekerja dalam semua perusahaan-perusahaan besar, ruang lingkup organisasi, dan lembaga kemasyarakatan bersifat sosial. 

Istilah kaizen ini digunakan untuk memacu etos kerja para pekerja di bawah perusahaan. Di Jepang misalnya, sebelum melakukan pekerjaan, semua karyawan diwajibkan melakukan kaizen. Anggaplah kita sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan maka sebelum bekerja kita harus berkumpul dan mengucapkan berkali-kali kata-kata atau kalimat-kalimat sakti mandraguna. Misalnya, saya seorang karyawan yang cerdas, saya karyawan berprestasi, saya karyawan yang inovatif. Berkali-kali dan setiap hari. Mungkin ini latar belakang mengapa Negeri Sakura berkembang demikian pesat melampaui negara-negara lainnya di dunia.

Kembali ke kaizen. Bahasa populernya, afirmasi. “Afirmasi adalah kata-kata yang diulang terus-menerus sehingga masuk ke alam bawah sadar dan menjadi memori yang kuat untuk dipanggil sewaktu-waktu. Kekuatan afirmasi kini banyak digunakan para motivator untuk memasukkan ‘virus’ sukses ke dalam benak orang-orang yang perlu dimotivasi. Misalnya, ketika bangun tidur seseorang dianjurkan untuk melakukan afirmasi dengan kata-kata positif: “Aku pasti sukses! Hari ini aku harus lebih baik! Aku akan sukses!” Kata-kata tersebut diulang setiap kali mau tidur atau ketika bangun pagi dan akan masuk ke alam bawah sadar. 

Otak bawah sadar inilah yang akan bekerja dan diyakini membuat orang tersebut benar-benar meraih sukses.” Demikian kata-kata Bambang Trim dalam ‘Taktis Menyunting Buku’. Sebuah buku yang mengulas tentang metode menyunting buku atau naskah yang akan diterbitkan. Barangkali, dibutuhkan afirmasi agar menyunting bisa dan mudah dilakukan.

Saya pernah membaca literatur perihal arti penting kekuatan alam bawah sadar. Ternyata, sekitar 88% perilaku dan tindakan manusia untuk sukses itu dipengaruhi oleh kekuatan alam bawah sadar. Sisanya, 12% adalah kerja-kerja alam sadar. Jadi kuncinya hanya membiasakan diri menggunakan kata-kata positif untuk meyakinkan diri berbuat yang terbaik dalam kehidupan. Dan ini yang saya maksud kekuatan alam bawah sadar. Disuplay dari luar kemudian di masukkan ke dalam sisi terpendam yang sangat berpengaruh pada jiwa dan perilaku manusia. Hal itu memicu banyak tindakan. Tinggal pilah-pilih suplay yang positif atau negatif.

Berdasarkan argumentasi Bambang Trim, kita dapat menarik kesimpulan sederhana bahwa, afirmasi dapat dilakukan dalam ranah kerja apa saja dan dalam ruang lingkup di mana saja. Menjadi penulis pun demikian. Misalnya, seseorang yang memiliki niat menjadi seorang penulis melakukan afirmasi setiap kali akan memulai menulis, “Saya seorang penulis! Saya bisa menulis dengan baik! Menulis, jiwa dan raga saya!” Terus menerus sampai masuk ke alam bawah sadar. Serupa yang dikatakan Bambang Trim tadi. Inilah perlunya menanamkan tekad yang kuat terlebih dahulu, apakah benar-benar menjadikan menulis sebagai kebanggaan diri atau sekadar pelampiasan emosi

Setengah-setengah dalam menekuni dunia tulis menulis ini akan berdampak sementara pula, dan pada akhirnya menulis bukan lagi sesuatu yang menarik. Kaizen atau afirmasi pun demikian punya makna dan nilai bila kegiatan menulis menjadi sesuatu yang benar-benar dirujuk oleh hati siapapun yang hendak melahirkan karya.

Menyelami makna lain dari afirmasi atau konsep kaizen ini, Tony Barnes dalam bukunya ’Kaizen Strategies for Successful Leadership’ mengatakan, kaizen adalah perbaikan yang merupakan kombinasi makna kata dalam bahasa Jepang, kai yang berarti ‘perubahan’, dan zen yang berarti ‘baik’. Di dunia Barat, kata kaizen sebagai konsep manajemen berarti ‘perbaikan yang terus menerus’. Kaizen berarti perubahan yang terus menerus pada kualitas dan kuantitas tulisan (konsep penulis). Pada akhirnya, dengan konsep yang terus-menerus berubah atau semakin menaiki tangga perbaikan, maka akan lahir tulisan yang memiliki karakter sendiri, ruh, dan value.

Konsep lain untuk memudahkan diri bercengkerama dengan dunia tulisan, kita kenal istilah yang lebih populer dengan Brand Programming System. Brand Programming System atau yang lebih dikenal dengan visualisasi sejatinya adalah penggunaan imajinasi untuk melihat diri kita apa bisa jadinya di masa akan datang. Visualisasi telah banyak membantu orang-orang sukses dalam mewujudkan mimpinya. Saya terheran-heran, bahkan geleng-geleng kepala setelah membaca biografi dan catatan perjalanan kehidupan seorang Anne Ahira. 

Perempuan muda yang sukses itu, dahulu ‘dianggap’ sebagai pengguna narkoba karena kurangnya tidur yang menyebabkan mukanya pucat seperti orang mati katanya, mata merah, dan pernah diusir dari rumah kosnya. Bahkan ibunya ‘berpuasa’ berbicara dengannya selama berbulan-bulan hanya karena keliru menyikapi antusiasme Ahira dalam mewujudkan mimpinya. Ahira menggunakan visualisasi dan sempat bersumpah bahwa ia akan berhasil. Hasilnya, Ahira benar-benar telah menaklukkan mimpinya. Ahira kini dikenal sebagai “Ratu Internet Marketing.”

Lakukan kaizen atau afrimasi kemudian menulislah!

Mari sejenak kita perhatikan capaian-capaian orang-orang sukses yang telah memiliki nama saat ini. Dahulu, mereka bukan siapa-siapa. Bahkan untuk disebut orang berpunya tidak masuk kategori juga. Mereka orang biasa yang melakukan pekerjaan tidak biasa. Sebabnya, mereka tekun, gigih alias pantang menyerah. Tekad mereka melebihi asumsi masyarakat bahwa untuk sukses harus punya modal dan nama. Buktinya tidak. Banyak orang telah menampik paradigma menyesatkan itu.
Bicara soal gelar, saya tidak cukup yakin bahwa setiap orang yang bergelar bisa menulis. Bahkan, untuk disebut mahir menulis, tidak mementingkan gelar alias tanpa gelar pun seseorang bisa menulis, berkarya. Kalaulah orang bergelar itu harus punya karya, mana mungkin mereka yang curang dan culas dalam meraih impiannya sebagai sarjana menjadi orang-orang berani memplagiat karya tulis orang lain. 
Menulis sama sekali tidak berkaitan dengan gelar, apalagi bila harus disebut sarjana. Bukankah banyak penulis yang akhirnya memilih menjadi penulis karena tidak sepakat dengan sistem pendidikan di negeri ini. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana bahwa mereka menulis karena bukan seorang sarjana?
      Gelar itu hanya soal pendidikan tinggi. Namun, keterampilan menulis tidak berkaitan erat dengannya sebab menulis diperoleh melalui keterampilan mengasaah kepekaan berpikir, kepekaan menangkap ide-ide, dan mungkin kepekaan berpikir secara kompleks terhadap satu atau beberapa objek untuk ide kepenulisan.
Berapa orang yang jadi menulis, latar belakangnya sarjana? Wah, sedikit sekali bukan. Kalaupun banyak, biasanya mereka berasal dari keluarga akademisi. Atau mungkin karena mereka sarjana jurnalistik yang menuntut kemungkinan menjadi penulis itu. Mereka yang mengambil jurusan jurnalistik atau editor, atau jurusan kebahasaan, sedikit banyak dituntut untuk bisa berkarya dalam bentuk karya tulis. Nah, pada bagian itu, kebutuhan terhadap menulis menjadi tuntutan, bukan lagi sebuah pilihan.
Sebut saja Ippho Santoso, penulis buku best seller Tujuh Keajaiban Rezeki. Seorang mahasiswa yang akhirnya ‘meminta izin’ keluar dari Universitas Gajah Mada sebelum membuat skripsi. Bukan alasan bodoh atau tidak mampu mencerna mata kuliah yang disajikan oleh dosen-dosennya, melainkan kegemarannya dalam menulislah yang membawanya menjadi seorang penulis buku berkualitas. Baginya menulis lebih dapat mencukupi kehidupannya daripada sekadar meraih gelar sarjana teknik. Ippho Santoso ternyata tidak memiliki gelar yang bisa dibanggakan, tapi memiliki karya yang mengguncang negeri pembaca karyanya yang menggugah, menginspirasi, bahkan mungkin mengubah paradigma berpikir bahwa untuk sukses seseorang tidak harus memiliki gelar, untuk sukses seseorang harus berani mengambil risiko.
Seorang penemu silet cukur, bernama King Camp Gillete ternyata hanya seorang penjual tutup botol keliling. Sosok ini ternyata, jangankan gelar, kelasnya pun jauh di bawah kita semua. Tetapi, saya patut menjadi bahan renungan bahwa menjadi orang besar tidak dilihat dari apa yang kita miliki, apa yang kita sandang, apa yang menggembirakan dan membahagiakan. Kekuatan kemauan mendorong kita menuju kesuksesan itu dibarengi dengan perjuangan. King Camp ternyata bukan sarjana, tanpa gelar, nyatanya ia sukses.
Leopold Mannes dan Leopold Godowsky berkarya dan penemu film berwarna Kodachrome. Siapa kedua orang ini? Mereka bukanlah ahli kimia yang ada sangkut pautnya dengan bidang yang mereka geluti. Mereka adalah musisi. Dari profesinya sangat bertolak belakang dengan capaian yang mereka gapai. Andai mereka mau menjadi penulis, saya yakin bisa selama mereka mau menulis, sebagaimana melakukan apa yang mereka senangi. Namun, mungkin menulis bukan passion mereka. 
Miralia Rajasa, berkarya dengan mendirikan bisnis kafe, yakni Kafe Balimang di Jakarta. Dia adalah seorang sarjana matematika MIPA di Universitas Indonesia. Bukan karena gelar sarjananya yang menyebabkan dia mampu berkarya, tetapi dasar kemauannya untuk mempersembahkan yang terbaik dan lebih bernilai bagi orang yang ada di sekitarnya. Mungkin saja, bila Miralia tidak kuliah di UI, dia pun sanggup menjalankan bisnisnya itu sebab jurusan matematika tidak berkaitan langsung dengan bisnis. Ini membuktikan bahwa untuk berkarya tidak harus memiliki gelar atau tidak harus bersekolah tinggi. 
Bila masih merasa canggung menulis, satu prototipe sosok sukses yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi mungkin perlu saya jabarkan di sini. Sebut saja Faiz. Bila Anda penggemar sastra atau buku-buku anak, tentu mengenal siapa bocah kecil ini. Sejak berumur delapan tahun ia berhasil membuat sebuah buku berjudul ‘Untuk Bunda dan Dunia’. Delapan tahun, luar biasa. Apakah Faiz kecil pada waktu itu sudah mendapat gelar dari perguruan tinggi? Jawabannya tentu saja, tidak. 
Lain Faiz, lain pula Adora Svitak. Bocah perempuan berumur sebelas tahun ini, telah ‘bukan pelajar’ lagi. Pagi-pagi yang ceria dia bersegera menjemput matahari. Bukan menuju sekolah tetapi menghadiri kelas-kelas tinggi untuk mengajarkan ilmunya. Di usia dini seperti itu, bocah dari tanah Jiran Malaysia ini telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku berkualitas. Dia telah dinobatkan sebagai seorang bocah pakar kesusasteraan di Malaysia. Ilmunya telah dibagikan di hampir seluruh penjuru negerinya, bahkan sampai ke luar negeri. Yang mencengangkan, Adora kecil saat itu sanggup membaca dua sampai tiga buku dalam sehari. Bahkan untuk menulis dia mampu menulis antara 80 hingga 112 kata permenit dan menulis kira-kira 330,000 perkata setahun.  Tentu saja itu bukanlah sesuatu yang mudah. 
Dengan demikian, patut kiranya seseorang untuk tidak beralasan bahwa menulis itu sulit. Selama ada kemauan dan berani mencoba, selama itu pula keterampilan menulis bisa jadi mudah. Tanpa atau dengan gelar sebenarnya bukan persoalan mendasar kita bisa menulis atau tidak.  Menulislah karena menulis itu dasarnya adalah kecintaan dan pembiasaan berkesinambungan.
Gelar bukan ukuran atau standar dapat atau tidak dapat menulis. Gelar bahkan tidak dapat dijadikan alasan keberhasilan seseorang. Banyak orang bergelar justru tidak memiliki nama di tengah masyarakatnya sebab mereka tidak menghasilkan, tidak memberdayakan, dan tidak mau berkarya. Tidak ada manfaat yang dapat ditularkan kepada orang lain dari gelar itu. Jadi, bila tidak ingin disebut manusia “mandul”, berkaryalah.
Lihatlah di sekeliling tempat kita tinggal, ada banyak orang bergelar, sekolah dan kuliah tinggi-tinggi di lembaga-lembaga formal favorit di negeri ini, tetapi semua itu tidak menjadikan mereka manusia yang memberdayakan. Bahkan sebagian dari mereka menjadi benalu dalam keluarganya. Inilah barangkali yang dikhawatirkan seorang Andrias Harefa dalam bukunya “Sukses Tanpa Gelar”. Yakni, mirisnya lembaga-lembaga formal yang tidak menjadikan alumninya menjadi manusia yang siap belajar melainkan manusia yang menjadi pembelajar dan selalu diajar, tak pernah siap belajar. Mereka keluaran kampus ternama tetapi akhirnya menjadi pengangguran. Bahkan sangat disayangkan tidak pernah memberdayakan karena bukannya membuka peluang atau lowongan kerja bagi sebanyak mungkin orang yang membutuhkan ilmunya, tetapi hanya siap menenteng kertas sakti bernama ijazah mencari lowongan kerja. Mereka bukan manusia pembelajar yang siap belajar.
Menjadi penulis bukan soal tingkat pendidikan, bukan soal gelar, soal akademik, atau soal bangku sekolah. Menjadi penulis itu sederhana, yakni dengan menulis. Mulailah dari yang sederhana, tanpa teori yang rumit dan mencekik. Menulis itu sungguh mudah dan perlu dibiasakan. Semoga bermanfaat.

“Lupakan soal suka dan tidak suka. Keduanya bukanlah konsekuensi. Kerjakan apa yang harus dikerjakan. Mungkin itu bukan sesuatu yang membahagiakan, namun di situlah terletak kebahagiaan.”
George Bernard Shaw
   
Bicara soal genre tulisan, maka kita fokus pada dua hal, fiksi dan nonsiksi. Mana yang rasanya kita punya passion di situ, antara fiksi atau nonfiksi tadi, maka jenis tulisan itulah yang sebaiknya kita tekuni. Namun, tidak sedikit penulis yang berkiprah dalam dua jenis tulisan ini. Ada yang bisa menulis nonfiksi dengan baik, ada pula yang daya imajinasinya tinggi dan menjadi penulis fiksi. Ini tentu sah-sah saja sebab menulis itu pilihan.
 Karya fiksi dan nonfiksi sama baiknya. Keduanya memiliki pembaca yang relatif bertambah dari tahun ke tahun. Jadi, bila kita menulis dengan mempertimbangkan peminat alias gairah pembaca, maka tidak ada tolok ukur tertentu apakah keduanya atau salah satunya menonjol atau tidak. Yang pasti bahwa, baik fiksi maupun nonfiksi, memiliki stimulus bagi para penikmat buku di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan banyaknya penikmat buku di luar negeri sana.
Bagaimana mengetahui kita lebih suka dan merasa lebih damai dengan salah satu jenis tulisan ini (fiksi atau nonfiksi)? Sederhana, ketika kita menulis dan saat itu kita merasa memiliki ruh dan semangat yang lebih dominan maka di situlah passion menulis itu kita temukan. Secara pribadi, saya pernah menulis beberapa cerita pendek (genre fiksi) dan dimuat di majalah yang diterbitkan oleh teman. Saat itu saya merasa bahwa karya tulis saya ada yang menghargai. Dalam pengertian, tulisan saya diminati. Waktu berjalan, semakin jauh rasanya saya semakin tidak nyaman dengan keadaan itu. Bila saya membandingkan kekuatan menulis saya saat membuat tulisan fiksi dan nonfiksi, ada tarikan kuat ketika saya mulai menulis alinea ke alinea pada tulisan nonfiksi daripada fiksi. Rasanya ada sekat yang membatasi keduanya. Ada penulis yang mengatakan, meramu tulisan fiksi dan nonfiksi justru bagus dan akan menghasilkan karya yang hebat. Namun, saya belum menemukan jiwa saya untuk menggodok dua jenis tulisan itu dalam satu judul sekaligus. Barangkali itu salah satu kekurangan saya.
Ketika beberapa tulisan saya dimuat di media, khususnya karya fiksi, saya tidak merasakan kedamaian dalam jiwa saya. Saya pikir, itu tidak bertahan lama kemudian saya hengkang dan mulai menulis nonfiksi. Nyatanya betul. Saya akhirnya fokus pada- tulisan-tulisan ilmiah walau dalam bentuk sederhana seperti artikel. Saya bersyukur sebab tulisan-tulisan itu juga diapresiasi oleh media. Jadi, simpulan yang dapat saya ambil, baik fiksi atau nonfiksi itu terserah penulis saja. Mana yang rasanya membuat kita sangat bergairah ketika menuliskannya maka itulah yang barangkali saya sebuat passion menulis kita. Jadi, kita bisa melakukan hal itu dengan jiwa yang merdeka.

Karya nonfiksi merupakan tulisan yang diramu ke dalam beberapa bentuk; baik artikel, makalah, paper, skripsi, tesis, dan semacamnya. Karya nonfiksi lebih dominan kita kenal dengan bahan-bahan tulisan yang bersumber dari berbagai pengkajian ilmiah seperti buku atau tulisan dengan berbagai literatur berbeda. Itu sebabnya karya nonfiksi selalu memiliki daftar pustaka karena akan menjadi bacaan wajib bagi kalangan akademik sehingga pembaca bisa menjadikannya literatur, baik pembanding atau untuk tujuan akademik dengan melihat daftar referensi yang tertuang ke dalam tulisan tersebut.
Menulis pada segmen nonfiksi akan sedikit rumit bagi orang-orang dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pelajar sekolah pun bisa menjadi penulis hebat dalam bidang ini. Nah, beda halnya dengan penulis pemula, yang kalau mau jujur, untuk disebut ilmiah dalam hal tulisan hasil belajar, tidaklah pantas. Alasannya klasik, penulis pemula selalu memulai tulisannya dengan karya sederhana untuk menemukan passion menulis mereka. Jadi, saya sarankan, bagi mereka yang sedang belajar menulis bisa memulai dengan artikel sederhana atau mungkin juga esai tanpa terlalu terikat dengan literatur ilmiah atau kebakuan penggunaan bahasa dan ejaannya.

Berbeda dengan karya fiksi, nonfiksi memiliki kelebihan bagi orang-orang tertentu. Pada segmen ini, penulis bebas mengekspresikan isi hati dan perasaannya dalam bentuk tulisan bebas sesuai imajinasi penulis. Menulis nonfiksi saya rasa sangat cocok bagi para penghayal atau mereka yang daya imajinasinya sangat kuat sebab menulis pada konteks ini  didasari oleh khayalan tingkat tinggi penulisnya. Jenis tulisan ini juga sangat banyak peminatnya, khususnya para pelajar sekolah dan mahasiswa. Jika Anda suka berangan-angan, nah itu sangat cocok dengan jenis tulisan ini. Semakin sering kita berimajinasi akan semakin serulah isi tulisan kita. Namun demikian, perlu dipahami bahwa ada tulisan nonfiksi yang tidak murni khayalan sebab ada penulis yang pandai meramu tulisan ilmiah dengan jenis tulisan ini. Sebagai pembelajar, tentunya kita tidak perlu memusingkan hal itu.
Dalam menulis nonfiksi, biasanya juga memiliki rambu-rambu. Namun tentu tidak terlalu mengikat. Misalnya, dalam hal aturan. Beberapa penulis dalam berbagai literatur menganjurkan tips-tips menulis nonfiksi sebabagi berikut: pada mulanya kita menentukan tema tulisan, kemudian menulis kerangka karangan atau biasa disebut outline, lanjut dengan mengembangkan kerangka karangan, dan pada bagian akhir kita menuliskan judul yang cocok. Aturan ini tentu bukan momok bagi seorang penulis pembelajar.

Bagi saya, metode menulis nonfiksi sebenarnya juga bebas. Kita harus merdeka agar tidak dijajah oleh kebakuan bahasa dan aturan yang mengikat. Begitu saya kira. Mau memulai dari judl atau langsung isinya terlebih dahulu, itu bukan masalah. Kita bebas memilih untuk memulai dari mana saja. Yang penting, kita mau memulai dan segera menuntaskan ide tulisan itu. Ada banyak penulis yang tulisannya bisa diterbitkan oleh media tanpa harus mengikuti tetek bengek aturan. Saya kita setiap orang bebas sebab kita merdeka dalam pengertian seluas-luaskan.
Nah, sebagai kesimpulan, menulis fiksi atau nonfiksi merupakan pilihan penulis. Sebagai seorang pemula, menggabungkan kedunya juga baik. Menulis fiksi memiliki tingkat kerumitan pada daya imajinasi penulisnya, dna tentu saja keterampilan menuangkan ide dan imajinasinya tadi ke dalam tulisan yang segar dan renyah. Menulis nonfiksi juga tidak kalah ribet. Kesulitan paling dominan pada aspek bahan tulisan alias referensi sebab pembaca sangat butuh sumber-sumber ilmu yang dikutip oleh penulis jenis ini.
Semoga tulisan singkat ini bisa memberikan pencerahan bagi para pembaca. Bagi Anda yang ingin menjadi penulis, saya sarankan untuk terus menulis tanpa harus terikat oleh kedua jenis tulisan ini (fiksi dan nonfiksi). Teruslah menulis, kelak Anda akan tahu, pada titik tertentu, menulis pada genre apa Anda memiliki passion yang kuat. Sekali lagi terima kasih atas antusisme Anda membaca tulisan ini. Tetap semangat dan mari menulis. Menulislah dengan bebas. Merdekalah! Mari menulis, sebab menulis itu gampang dan membahagiakan. Menulis itu tidak rumit sebab tanpa teori pun seseorang bisa menulis.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!