Mari sejenak kita perhatikan capaian-capaian orang-orang sukses yang telah memiliki nama saat ini. Dahulu, mereka bukan siapa-siapa. Bahkan untuk disebut orang berpunya tidak masuk kategori juga. Mereka orang biasa yang melakukan pekerjaan tidak biasa. Sebabnya, mereka tekun, gigih alias pantang menyerah. Tekad mereka melebihi asumsi masyarakat bahwa untuk sukses harus punya modal dan nama. Buktinya tidak. Banyak orang telah menampik paradigma menyesatkan itu.
Bicara soal gelar, saya tidak cukup yakin bahwa setiap orang yang bergelar bisa menulis. Bahkan, untuk disebut mahir menulis, tidak mementingkan gelar alias tanpa gelar pun seseorang bisa menulis, berkarya. Kalaulah orang bergelar itu harus punya karya, mana mungkin mereka yang curang dan culas dalam meraih impiannya sebagai sarjana menjadi orang-orang berani memplagiat karya tulis orang lain. 
Menulis sama sekali tidak berkaitan dengan gelar, apalagi bila harus disebut sarjana. Bukankah banyak penulis yang akhirnya memilih menjadi penulis karena tidak sepakat dengan sistem pendidikan di negeri ini. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana bahwa mereka menulis karena bukan seorang sarjana?
      Gelar itu hanya soal pendidikan tinggi. Namun, keterampilan menulis tidak berkaitan erat dengannya sebab menulis diperoleh melalui keterampilan mengasaah kepekaan berpikir, kepekaan menangkap ide-ide, dan mungkin kepekaan berpikir secara kompleks terhadap satu atau beberapa objek untuk ide kepenulisan.
Berapa orang yang jadi menulis, latar belakangnya sarjana? Wah, sedikit sekali bukan. Kalaupun banyak, biasanya mereka berasal dari keluarga akademisi. Atau mungkin karena mereka sarjana jurnalistik yang menuntut kemungkinan menjadi penulis itu. Mereka yang mengambil jurusan jurnalistik atau editor, atau jurusan kebahasaan, sedikit banyak dituntut untuk bisa berkarya dalam bentuk karya tulis. Nah, pada bagian itu, kebutuhan terhadap menulis menjadi tuntutan, bukan lagi sebuah pilihan.
Sebut saja Ippho Santoso, penulis buku best seller Tujuh Keajaiban Rezeki. Seorang mahasiswa yang akhirnya ‘meminta izin’ keluar dari Universitas Gajah Mada sebelum membuat skripsi. Bukan alasan bodoh atau tidak mampu mencerna mata kuliah yang disajikan oleh dosen-dosennya, melainkan kegemarannya dalam menulislah yang membawanya menjadi seorang penulis buku berkualitas. Baginya menulis lebih dapat mencukupi kehidupannya daripada sekadar meraih gelar sarjana teknik. Ippho Santoso ternyata tidak memiliki gelar yang bisa dibanggakan, tapi memiliki karya yang mengguncang negeri pembaca karyanya yang menggugah, menginspirasi, bahkan mungkin mengubah paradigma berpikir bahwa untuk sukses seseorang tidak harus memiliki gelar, untuk sukses seseorang harus berani mengambil risiko.
Seorang penemu silet cukur, bernama King Camp Gillete ternyata hanya seorang penjual tutup botol keliling. Sosok ini ternyata, jangankan gelar, kelasnya pun jauh di bawah kita semua. Tetapi, saya patut menjadi bahan renungan bahwa menjadi orang besar tidak dilihat dari apa yang kita miliki, apa yang kita sandang, apa yang menggembirakan dan membahagiakan. Kekuatan kemauan mendorong kita menuju kesuksesan itu dibarengi dengan perjuangan. King Camp ternyata bukan sarjana, tanpa gelar, nyatanya ia sukses.
Leopold Mannes dan Leopold Godowsky berkarya dan penemu film berwarna Kodachrome. Siapa kedua orang ini? Mereka bukanlah ahli kimia yang ada sangkut pautnya dengan bidang yang mereka geluti. Mereka adalah musisi. Dari profesinya sangat bertolak belakang dengan capaian yang mereka gapai. Andai mereka mau menjadi penulis, saya yakin bisa selama mereka mau menulis, sebagaimana melakukan apa yang mereka senangi. Namun, mungkin menulis bukan passion mereka. 
Miralia Rajasa, berkarya dengan mendirikan bisnis kafe, yakni Kafe Balimang di Jakarta. Dia adalah seorang sarjana matematika MIPA di Universitas Indonesia. Bukan karena gelar sarjananya yang menyebabkan dia mampu berkarya, tetapi dasar kemauannya untuk mempersembahkan yang terbaik dan lebih bernilai bagi orang yang ada di sekitarnya. Mungkin saja, bila Miralia tidak kuliah di UI, dia pun sanggup menjalankan bisnisnya itu sebab jurusan matematika tidak berkaitan langsung dengan bisnis. Ini membuktikan bahwa untuk berkarya tidak harus memiliki gelar atau tidak harus bersekolah tinggi. 
Bila masih merasa canggung menulis, satu prototipe sosok sukses yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi mungkin perlu saya jabarkan di sini. Sebut saja Faiz. Bila Anda penggemar sastra atau buku-buku anak, tentu mengenal siapa bocah kecil ini. Sejak berumur delapan tahun ia berhasil membuat sebuah buku berjudul ‘Untuk Bunda dan Dunia’. Delapan tahun, luar biasa. Apakah Faiz kecil pada waktu itu sudah mendapat gelar dari perguruan tinggi? Jawabannya tentu saja, tidak. 
Lain Faiz, lain pula Adora Svitak. Bocah perempuan berumur sebelas tahun ini, telah ‘bukan pelajar’ lagi. Pagi-pagi yang ceria dia bersegera menjemput matahari. Bukan menuju sekolah tetapi menghadiri kelas-kelas tinggi untuk mengajarkan ilmunya. Di usia dini seperti itu, bocah dari tanah Jiran Malaysia ini telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku berkualitas. Dia telah dinobatkan sebagai seorang bocah pakar kesusasteraan di Malaysia. Ilmunya telah dibagikan di hampir seluruh penjuru negerinya, bahkan sampai ke luar negeri. Yang mencengangkan, Adora kecil saat itu sanggup membaca dua sampai tiga buku dalam sehari. Bahkan untuk menulis dia mampu menulis antara 80 hingga 112 kata permenit dan menulis kira-kira 330,000 perkata setahun.  Tentu saja itu bukanlah sesuatu yang mudah. 
Dengan demikian, patut kiranya seseorang untuk tidak beralasan bahwa menulis itu sulit. Selama ada kemauan dan berani mencoba, selama itu pula keterampilan menulis bisa jadi mudah. Tanpa atau dengan gelar sebenarnya bukan persoalan mendasar kita bisa menulis atau tidak.  Menulislah karena menulis itu dasarnya adalah kecintaan dan pembiasaan berkesinambungan.
Gelar bukan ukuran atau standar dapat atau tidak dapat menulis. Gelar bahkan tidak dapat dijadikan alasan keberhasilan seseorang. Banyak orang bergelar justru tidak memiliki nama di tengah masyarakatnya sebab mereka tidak menghasilkan, tidak memberdayakan, dan tidak mau berkarya. Tidak ada manfaat yang dapat ditularkan kepada orang lain dari gelar itu. Jadi, bila tidak ingin disebut manusia “mandul”, berkaryalah.
Lihatlah di sekeliling tempat kita tinggal, ada banyak orang bergelar, sekolah dan kuliah tinggi-tinggi di lembaga-lembaga formal favorit di negeri ini, tetapi semua itu tidak menjadikan mereka manusia yang memberdayakan. Bahkan sebagian dari mereka menjadi benalu dalam keluarganya. Inilah barangkali yang dikhawatirkan seorang Andrias Harefa dalam bukunya “Sukses Tanpa Gelar”. Yakni, mirisnya lembaga-lembaga formal yang tidak menjadikan alumninya menjadi manusia yang siap belajar melainkan manusia yang menjadi pembelajar dan selalu diajar, tak pernah siap belajar. Mereka keluaran kampus ternama tetapi akhirnya menjadi pengangguran. Bahkan sangat disayangkan tidak pernah memberdayakan karena bukannya membuka peluang atau lowongan kerja bagi sebanyak mungkin orang yang membutuhkan ilmunya, tetapi hanya siap menenteng kertas sakti bernama ijazah mencari lowongan kerja. Mereka bukan manusia pembelajar yang siap belajar.
Menjadi penulis bukan soal tingkat pendidikan, bukan soal gelar, soal akademik, atau soal bangku sekolah. Menjadi penulis itu sederhana, yakni dengan menulis. Mulailah dari yang sederhana, tanpa teori yang rumit dan mencekik. Menulis itu sungguh mudah dan perlu dibiasakan. Semoga bermanfaat.
Categories:

2 comments:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!