Jujur, saya sendiri sempat bingung bagaimana saya membagi dua jenis tulisan ini. Namun, rasa penasaran saya menjadi hilang ketika saya mau tidak mau harus menulis tentang judul ini. Mungkin karena tuntutan menulislah yang mengharuskan saya melakukan itu. Saya jadi harus bisa memberi penjelasan mengenai pambagian tulisan yang saya terka ini. Semoga terkaan saya tidak keliru. Kok saya ngomongnya tidak jelas ya? hehehe.

Baiklah, mari kita coba telaah dua jenis tulisan ini; tulisan berat dan tulisan ringan. Menurut analisis saya, tulisan itu disebut berat karena muatannya. Maksudnya? Tulisan berat karena bobotnya, bobot tulisannya. Seorang penulis harus memilah ide yang tepat untuk ditulis. Ide yang tepat di sini adalah ide yang menjual atau paling tidak menjadi “incaran” para pembaca. Tulisan berat itu sarat ilmu. Isinya berbobot. Artinya, sebelum ditulisa, penulis harus mengumpulkan bahan terlebih dahulu yang kemudian diramu ke dalam tulisan.

Secara sederhana teorinya seperti ini: Penulis menentukan satu tema atau langsung menentukan judul juga tidak masalah. Setelah itu, bila memungkinkan, penulis membuat outline atau mind map untuk memilah bagian-bagian tulisan nantinya. Outline jadi, penulis kemudian mencari sumber-sumber informasi berkaitan dengan tangkai tiap cabang tema kemudian melakukan telaah dan perbandingkan dengan tulisan serupa yang sudah ada. Finish? Belum. Penulis (lagi) melakukan telaah pustaka. Nah, setelah itu barulah proses penulisan dimulai. Artinya, penulis harus berpayah-payah mengumpulkan bahan dan “rempah-rempahnya” untuk menghasilkan satu tulisan “gurih” dan berkualitas, sarat ilmu, dan tidak asal jadi.

Barangkali, tulisan yang biasa kita baca dalam koran-koran atau majalah berupa artikel atau kajian khusus itulah contohnya. Penulis harus “repot” dalam hal penulisannya. Berbeda dengan tulisan ringan. Tulisan ringan tidak serumit tulisan jenis yang pertama tadi. Tulisan ringan tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk mengumpulkan bahan tulisan. Tulisan ringan hanya berdasarkan mood penulisnya. Tulisan ringan ditulis dengan gaya menulis apa saja oleh penulisnya.

Tulisan ringan biasanya ditulis secara mengalir dan bebas sesuai keinginan penulis. Tulisan jenis ini tidak membutuhkan telaah pustaka walau ada juga yang butuh sedikit bahan untuk mengingat teori yang mungkin dilupakan penulis. Tulisan ringan bahkan sekali duduk bisa selesai. Wah, mudah sekali ya melakukannya. Mungkin hal itu berlaku bagi orang yang sudah terbiasa menulis.

Orang yang idenya berjubel tidak mengalami kesulitan dalam meramu tulisan-tulisannya. Kita mungkin sering menulis dengan gaya menulis seperti bercerita. Hasilnya seperti curhat dan kadang tidak mengambil pusing terhadap hasil tulisan kita. Nah, itu yang saya maksud tulisan ringan. Seringan makanan ringan. Gampang memperoleh idenya gampang juga membuatnya. Ya, semoga demikian. Semoga berlaku bagi para penulis pemula.

Tulisan ringan itu, ya seperti hampir semua tulisan saya. Saya menulis kapan saja saya mau, tentu saat saya sedang bersemangat. Saya menulis tentang apapun yang menarik minat dan perhatian saya. Saya menulis tanpa peduli tulisan saya baik atau buruk sebab saya sedang dalam proses belajar yakni belajar menulis untuk mencari jati diri saya sebagai seorang penulis. Dengan banyak menulis dan sering, maka akan semakin mudah rasanya untuk merangkai kata-kata. Jam terbang menulis yang banyak membuat saya tidak mengalami kesulitan untuk memulai menuangkan ide saya. Alhamdulillah.

Bagi saya, tidak masalah apakah tulisan saya berkualitas atau tidak. Saya tidak pernah peduli. Saya menulis sebanyak yang saya bisa. Ketika kelak saya sudah benar-benar mahir, maka saat itulah barangkali saya harus mempertimbangkan ide-ide yang menarik dan berkualitas. Saya berharap, kelak saya pun bisa menulis tulisan yang berat. Insya ALLAH.

Semoga bermanfaat. Mari galakkan kegiatan menulis!



Antara mengembangkan kebiasaan baik dan buruk nyaris sama mudahnya, dan ini banyak mempermudah kehidupan. Ini berlaku sama untuk penulisan dan hal-hal lain.”_Herman Holtz

Bobbi DePotter dalam bukunya Quantum Learning mengatakan, “Percaya atau tidak, kita semua adalah penulis. Di suatu tempat di dalam diri setiap manusia ada jiwa unik yang berbakat yang mendapatkan kepuasan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekadar berbagi rasa dan pikiran. Dorongan untuk menulis itu sama besarnya dengan dorongan untuk berbicara; untuk mengomunikasikan pikiran dan pengalaman kita kepada orang lain; untuk, paling tidak menunjukkan kepada mereka siapa kita.”

DePotter meyakinkan saya bahwa manusia, siapapun bisa menulis. Kalimat ini mencakup semua orang karena sifat dan bahasanya umum. Nah, pertanyaan sederhana ini mungkin sering kita dengar, siapa yang bisa menjadi penulis? Atau, bagaimana saya bisa menulis? Terus terang, saya sendiri sudah capai menjawab pertanyaan konyol semacam ini.
 
Untuk bisa menulis, dibutuhkan setidaknya dua syarat. Pertama, ada kemauan yang kuat. Kedua, kesungguhan, konsisten, usaha kuat sampai ‘titik darah penghabisan’ untuk menyelesaikan tulisan. Mungkin sebab dua hal ini sehingga ada banyak orang yang kita temui di usianya yang masih muda atau sebaliknya yang sangat tua, namun bisa menjadi penulis produktif. Tidak sedikit pula yang menjadi profesional.
 
Tanpa melihat tingginya tingkat pendidikan, strata sosial, profesi, atau hobi, setiap orang bisa menulis hanya dengan berlatih. Latihan inilah yang mesti dibiasakan ditambah nilai plus dari kesungguhan, maka pasti bisa menghasilkan karya. Sesederhana apapun hasilnya.

Pantangan
Bukan hanya dalam bekerja atau berbisnis, dalam hal menulis juga ada yang “diharamkan”. Ada banyak tantangan yang harus kita hadapi. Menjadi seorang penulis membutuhkan mental baja dan kepekaan diri terhadap segala sesuatu yang terhampar di atas permukaan bumi. Namun, satu hal yang penting untuk diingat, bila hendak menjadi penulis, maka kita harus punya sejuta alasan untuk tidak menunda sebuah ide untuk ditulis. Sebab ide-ide itulah yang akan membesarkan kita. Ide itu yang mengajak kita untuk merangkai kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Begitu seterusnya.

Nah, berkaitan dengan tahap ini, perlu kiranya kita mengenali dau hal yang “diharamkan” dalam proses kreatif menulis.

Pertama, berkaitan dengan karakter. Banyak hal yang tidak boleh dilanggar –ya, bila mau menganggapnya sebagai aturan untuk mendisiplinkan diri- sebut saja sifat malas. Untuk bisa menulis, Anda “diharamkan” untuk malas, malas melakukan repetisi. Setelah berkarya, kegandrungan menulis harus senantiasa diasah dengan berkesinambungan. Bila tidak, efeknya bisa fatal

Mengapa repetisi menulis itu penting? Ada banyak kasus seorang penulis (pemula) akhirnya berhenti menulis dengan alasan yang klasik, karena tidak bisa lagi menangkap ide, karena tidak bisa lagi fokus, karena tidak tahu lagi apa yang hendak ditulis, karena ini itu dan berjubel alasan yang membelenggu cintanya untuk menulis. Kata kunci di sini adalah repetisi. Dengan melakukan repetisi atau pengulangan, maka semangat menulis akan senantiasa terjaga, awet dan menghasilkan karya. Itu yang penting.

Kedua, berhenti belajar. Sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai di perguruan tinggi, belajar menjadi salah satu bagian dari proses mencapai kesuksesan. Sukses dalam segala hal. Berhenti belajar sama artinya berhenti bekerja. Atau yang lebih ekstrim berhenti bernafas alias mati. 

Bila Anda telah berhasil menulis satu artikel sederhana, itu berarti Anda bisa menulis lebih banyak dan lebih baik. Soal kualitas, insya ALLAH, akan dirasakan setelah proses kreatif menulis dilakukan dalam rentang waktu yang lama. Walau kenyataannya banyak penulis yang tulisannya berkualitas dalam waktu yang cukup singkat. Semoga hal tersebut juga kita dapat raih. Semoga.

Belajar semestinya memang menjadi program sepanjang hayat. Hal itu berarti bahwa belajar menjadi kewajiban bagi makhluk bernama manusia. Dalam dunia tulis menulis, belajar adalah faktor krusial di samping banyak faktor lain. Alangkah sayang bila seseorang yang telah menghasilkan sebuah karya atau beberapa karya, kemudian karena terlena oleh hasil, atau merasa puasa dengan capaiannya saat itu, kemudian berhenti belajar. Padahal, dengan belajar dan terus mengasah kemampuan menulisnya itu kelak akan membesarkan namanya, baik diinginkan ataupun tidak

Bila seorang penulis malas belajar atau bahkan enggan untuk belajar, maka barangkali saya sedikit kasar bila mengatakan mereka itu penulis yang, maaf, tolol. Penulis kok malas belajar? Wah, bisa kalah dari anak SD. 

Berhenti belajar akan berdampak pada kualitas tulisan. Nyata sekali perbedaan kualitas karya antara penulis yang selalu mengasah kemampuannya dengan terus menulis dan berlatih dengan mereka yang hanya mengandalkan satu dua artikel dan berhenti belajar. Dari aspek kualitas juga kuantitas, dapat tercipta karya yang berbobot dari mereka yang senantiasa belajar dan mengasah kualitas tulisan

Bila mau jujur, sebenarnya semua penulis adalah orang yang cerdas karena berhasil memberdayakan dan memanfaatkan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Hanya saja ada yang berhasil menjadi profesional karena mensyukuri pemberian-Nya dengan senantiasa mengasahnya, dan ada yang menjadi biasa-biasa saja karena pasrah, bangga, bahkan merasa puas dengan apa yang dicapainya. Walaupun dengan hasil apa adanya dan ala kadarnya. 

Kasihan, ya. Bila bisa menghasilkan lebih, mengapa harus membatasi diri? Bila bisa melejit kenapa berhenti di tengah jalan? Bila bisa menjadi bintang kenapa menjadi badai? Beberapa pertanyaan yang penting untuk direnungkan oleh mereka yang mendambakan keberhasilan. Khususnya bagi mereka yang hendak berhasil dalam proses kreatif menulis. Jadi, teruslah belajar. Seperti pepatah anak sekolah yang selalu terngiang di telinga, rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh. Sinkronisasinya, rajin belajar pangkal pelejit kualitas diri, malas dan berhenti belajar pembunuh potensi diri. 

Yang terakhir, sediakan payung sebelum hujan. Masih ingat pepatah ini, bukan? Pepatah ini kita dapatkan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah. Bahkan, pada jenjang pergutuan tinggi, masih kita pelajari di Fakultas Sastra

Sedia payung sebelum hujan. Sedia buku sebelum belajar. Sedia lauk sebelum makan. Sedia ongkos sebelum naik oplet. Sedia mental sebelum menikah. Yang tidak dianjurkan dan sangat diharamkan, sedia uang sebelum berjudi, pasti Anda masuk jeruji, entah di dunia atau di akhirat. Kalau hendak menjadi seorang penulis, ya sedia mental sebelum memulai, sedia ide sebelum menulis. Maka, jadilah penulis kreatif.

Membaca dan menulis bagaikan sepasang suami istri yang, dalam kesehariannya, masing-masing beraktivitas secara komplementer.”_Hernowo

Mengawali tulisan ini, saya ingin mengajukan pertanyaan yang mungkin sedikit menggelitik. Tahukah Anda makna kalimat ini?

Bunga yang melimpah-limpah dan indah dari pegunungan dan lembah yang mulai mengisi udara dengan keharumannya sampai seluruh Hawaii.”

Asumsi saya, bila Anda seorang pecinta puisi, cerita imajinasi, atau sebut saja sastrawan, kemungkinan akan memberikan jawaban, “Bunga merupakan lambang perempuan.” Entah, apakah yang dimaksud perempuan yang cantik, sangat cantik, kurang cantik alias tidak menarik, atau sekadar simbol perempuan untuk mewakili sifat feminim. Biasanya simbol yang lebih melekat dan lebih tenar untuk perempuan cantik disebut bunga mawar, atau bunga berwarna merah.

Melengkapi simbol cantik seorang perempuan, kalimat di atas ditambahkan dengan kata ‘melimpah-limpah dan indah’. Jadi bisa disebut perempuan cantik, ditambah lagi dengan baunya yang harum sampai ke seantero Hawaii menunjukkan makna bahwa yang dimaksud benar-benar perempuan yang cantik dan tenar (termasyhur, red). Anda mungkin bingung.

Agar tidak multitafsir, sebenarnya kalimat itu saya pulung sari sebuah nama. Ya, nama seorang perempuan yang berasal dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Kalau saya sebut Miss Dawn N. Lee mungkin Anda lebih kenal. Nama ini cukup populer. Miss Dawn merupakan seorang perempuan cantik berkebangsaan Amerika yang tercatat pada Februari 1967 sebagai manusia yang memiliki nama terpanjang di dunia. Waow. Kalimat di atas (nama Miss Dawn) merupakan terjemahan dalam bahasa populer karena lebih rumit dilafalkan dalam bahasa aslinya.

Napuamaha-laonaonekawe-hionakuahiweanena-wawakehoonkakehoaaleke-eaonanainanaina-keoa-Hawaiikawao (94 huruf). 

Na, lho. Bahkan saya menuliskannya kembali dengan hati-hati agar tidak bertambah kacau. Nama ini saya ketahui setelah membaca Buku Pintar Seri Senior” karya Iwan Gayo. Benar-benar menjadi ilmu yang sangat bermanfaat. Dalam buku tersebut bahkan terdaftar nama paling pendek di dunia. Nama yang hanya terdiri atas satu vokal atau konsonan, misalnya A, B, O, J, N, dan X. Tafsir untuk nama ini belum jelas. Yang memiliki arti hanya E dan U, keduanya dapat dijumpai di Burma yang berarti tenang (E) dan telur (U).
 
Lalu apa kaitannya dengan penulisan. Sangat erat. Bahkan keduanya komplementer. Bicara tentang menulis, suplemen yang paling mendukung adalah membaca. Menjadikan diri terbiasa dengan bahan bacaan tidak hanya meluaskan wawasan tetapi juga menambah bobot alias kualitas tulisan. Pertanyaannya, ‘Sudahkah Anda membaca hari ini?’

Membaca merupakan salah satu syarat yang dapat menyokong seseorang menjadi pribadi yang sukses. Berbagai panduan, motivasi, insight, baik yang spesifik maupun yang kompleks dapat diperoleh melalui bahan bacaan.

Kuantitas bahan bacaan yang banyak ‘dimangsa’ oleh para kutu buku sangat memengaruhi pola pikir. Bahkan banyak orang yang memperoleh penderahan dalam kehidupannya yang sedang kalut hanya dengan membaca sebuah buku. Tidak keliru pula bila dikatakan, membaca adalah jendela dunia yang bersumber dari semboyan, buku adalah jendela dunia. Ya, dengan membaca seisi dunia dapat kita jelajahi. Bahkan mengenal dunia luar yang jauh di angkasa, dapat kita pijaki hanya dengan membaca. Mudah, murah, dan meriah. Yang pasti tidak merana. Menjadikan membaca sebagai kegemaran akan melahirkan manusia-manusia berperadaban tinggi.

Bagi seorang penulis, kebutuhan membaca sama halnya dengan kebutuhan terhadap makan dan minum. Membaca adalah suplemen dosis tinggi untuk mewujudkan mimpi menjadi penulis berkarakter. Sangat disayangkan bila seseorang yang hendak menulis tetapi malas dan bahkan tidak suka membaca. Walau dapat berkarya, jelas karyanya tidak bernutrisi. Tulisan harus variatif dengan membubuhkan beragam ilmu dan informasi. Tujuannya tidak lain agar para penikmat tulisan kita memperoleh manfaat setelah membacanya. Dengan membaca, penulis menjadi tahu dan bisa mengukur kualitas tulisannya bahkan sebelum orang lain membacanya.

Begitu banyak karya yang telah ditorehkan. Berlembar-lembar bahkan mungkin berpuluh halaman, tetapi tidak mengandung ‘gizi’ karena minim wawasan. Apa yang disajikan hanya merupakan deretan kata dan kalimat tanpa makna. Ibarat sayur tanpa garam, rasanya hambar. Tentu tidak banyak orang yang menyukainya. Seperti itukah karakter penulis? Entahlah. Tulisan ini dibuat bukan untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Pembaca barangkali lebih pintar dan lebih piawai menjawabnya.
Kadang-kadang saya terheran-heran membaca satu dua tulisan seorang pengarang buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Apalagi bila mereka menulis deskripsi detail tentang negara-negara kelas dunia yang belum pernah mereka kunjungi. Atau tentang teknologi canggih yang mereka gagas dengan brilian. Ada juga banyak pakar dalam berbagai bidang menjadi populer hanya karena tulisannya menyinggung soal ini itu. Setelah ditanya apa rahasianya? Jawabnya singkat, kuncinya membaca. Singkat namun padat makna. Jadi, membacalah, kemudian tunjukkan taring-taring melalui tulisan. Selama bisa membaca dan menulis, selama itu pula kita tidak bisa disebut “ompong”. Maksud saya “ompong” gagasan.

Nilai sebuah buku jauh lebih mahal daripada harta. Bukulah harta sesungguhnya sebab buku mengandung banyak ilmu yang dapat menjadi pedoman menapaki kehidupan manusia. Bahkan buku menjadi penerang di waktu gelap, penyemangat di waktu gundah, penyokong disaat tumbang, pengokoh di saat rapuh, pembela saat orang menganiaya, dan menjadi harta termahal dibandingkan dengan harta-harta benda bermerk alias punya nama dan mentereng. 

Berkaitan dengan banyaknya manfaat buku, mari sejenak kita menelaah perkataan Ibnu al-Jauzi berikut ini.

“Aku ingin memberitahukan tentang keadaanku sendiri bahwa aku tidak merasa kenyang untuk membaca kitab (buku, red) yang belum pernah aku lihat, aku seakan-akan berada di sebuah gudang penyimpanan harta.”

“Selama menuntut ilmu, aku telah membaca kitab sebanyak dua puluh ribu jilid. Dengan rajin membaca kitab, aku bisa mengetahui sejarah para ulama salaf, cita-cita mereka yang tinggi, hapalan mereka yang luar biasa, ketekunan ibadah mereka, dan ilmu mereka yang aneh-aneh. Semua itu jelas tidak akan diketahui oleh orang yang malas membaca.”

“Itulah sebabnya, dalam hal hobi membaca aku punya kelebihan tersendiri dibandingkan dengan kebanyakan manusia. Aku sangat prihatin akan cita-cita para penuntut ilmu sekarang ini. Dan segala puji hanya milik Allah,” tutur Ibnu al-Jauzi.

Bagi seorang penulis, bila berniat melahirkan karya yang bermutu, membaca merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Bahkan dalam proses kreatif, semakin banyak membaca berarti semakin minim rekayasa.

Membaca membuka wawasan. Berbagai ide ada dalam buku. Mungkin saja hanya satu buku, puluhan ide bertumpuk-tumpuk segera menyerang. Dengan membaca, memudahkan kita memilah ide-ide yang cerdas, memberdayakan, dan yang laku terjual di pasaran. Perhatikan sekali lagi perkataan Al-Jauzi, “….dalam hal hobi membaca aku punya kelebihan tersendiri dibandingan dengan kebanyakan manusia.” Hal inilah yang banyak membedakan kita dengan orang lain.

Terkadang kita saksikan seorang yang pandai berbicara dalam banyak hal, dalam banyak bidang, bahkan yang bukan bidangnya tetapi miskin karya karena hanya mewacanakan ide-idenya. Bagaimana seandainya mereka merumuskannya dalam wacana tertulis, dalam lembaran-lembaran kertas yang bisa ditelaah oleh lebih banyak orang. Pasti mereka bisa tampil lebih hebat.

Menulis memiliki keutamaan dan kelebihan. Dengan menulis, rumusan ide lebih mudah dipelajari bahkan lebih gampang diakui. Membaca merupakan hasil dari buah pikiran penulis yang kemudian diabadikan dalam bentuk draft. Apa yang kita baca selama ini? Jawabannya adalah buah tangan-tangan kreatif para penulis. Tulisan ada karena ditulis.

Perhatikan pribadi-pribadi mereka yang cerdas, rata-rata, dan hampir semua memiliki kebiasaan membaca. Mungkin itu pula salah satu penyebab mengapa banyak orang yang menjadi penulis dapat menulis tentang berbagai hal yang bukan spesifikasi keahliannya. Semua diperoleh dari hasil membaca, membaca, membaca, dan membaca. 

Saya ingat firman Allah yang memberikan apresiasi lebih bagi orang-orang yang berilmu bahwa Dia akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan dibandingkan dengan orang-orang yang bodoh (yang tidak berilmu). Satu jalan untuk memperoleh ilmu itu tentunya membaca. Baik membaca secara kasar seperti menelaah buku atau sejenisnya, atau membaca secara maknawi, seperti merenungkan gejala dan fenomena alam yang terjadi. Allah juga membedakan orang berilmu dengan yang tidak berilmu. Pada intinya, belajarlah (membaca) agar tidak disebut ketinggalan zaman. Khususnya membaca bagi sebesar-besarnya manfaat ilmu dan ibadah yang diperoleh.

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!