Antara mengembangkan kebiasaan baik dan buruk nyaris sama mudahnya, dan ini banyak mempermudah kehidupan. Ini berlaku sama untuk penulisan dan hal-hal lain.”_Herman Holtz

Bobbi DePotter dalam bukunya Quantum Learning mengatakan, “Percaya atau tidak, kita semua adalah penulis. Di suatu tempat di dalam diri setiap manusia ada jiwa unik yang berbakat yang mendapatkan kepuasan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekadar berbagi rasa dan pikiran. Dorongan untuk menulis itu sama besarnya dengan dorongan untuk berbicara; untuk mengomunikasikan pikiran dan pengalaman kita kepada orang lain; untuk, paling tidak menunjukkan kepada mereka siapa kita.”

DePotter meyakinkan saya bahwa manusia, siapapun bisa menulis. Kalimat ini mencakup semua orang karena sifat dan bahasanya umum. Nah, pertanyaan sederhana ini mungkin sering kita dengar, siapa yang bisa menjadi penulis? Atau, bagaimana saya bisa menulis? Terus terang, saya sendiri sudah capai menjawab pertanyaan konyol semacam ini.
 
Untuk bisa menulis, dibutuhkan setidaknya dua syarat. Pertama, ada kemauan yang kuat. Kedua, kesungguhan, konsisten, usaha kuat sampai ‘titik darah penghabisan’ untuk menyelesaikan tulisan. Mungkin sebab dua hal ini sehingga ada banyak orang yang kita temui di usianya yang masih muda atau sebaliknya yang sangat tua, namun bisa menjadi penulis produktif. Tidak sedikit pula yang menjadi profesional.
 
Tanpa melihat tingginya tingkat pendidikan, strata sosial, profesi, atau hobi, setiap orang bisa menulis hanya dengan berlatih. Latihan inilah yang mesti dibiasakan ditambah nilai plus dari kesungguhan, maka pasti bisa menghasilkan karya. Sesederhana apapun hasilnya.

Pantangan
Bukan hanya dalam bekerja atau berbisnis, dalam hal menulis juga ada yang “diharamkan”. Ada banyak tantangan yang harus kita hadapi. Menjadi seorang penulis membutuhkan mental baja dan kepekaan diri terhadap segala sesuatu yang terhampar di atas permukaan bumi. Namun, satu hal yang penting untuk diingat, bila hendak menjadi penulis, maka kita harus punya sejuta alasan untuk tidak menunda sebuah ide untuk ditulis. Sebab ide-ide itulah yang akan membesarkan kita. Ide itu yang mengajak kita untuk merangkai kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Begitu seterusnya.

Nah, berkaitan dengan tahap ini, perlu kiranya kita mengenali dau hal yang “diharamkan” dalam proses kreatif menulis.

Pertama, berkaitan dengan karakter. Banyak hal yang tidak boleh dilanggar –ya, bila mau menganggapnya sebagai aturan untuk mendisiplinkan diri- sebut saja sifat malas. Untuk bisa menulis, Anda “diharamkan” untuk malas, malas melakukan repetisi. Setelah berkarya, kegandrungan menulis harus senantiasa diasah dengan berkesinambungan. Bila tidak, efeknya bisa fatal

Mengapa repetisi menulis itu penting? Ada banyak kasus seorang penulis (pemula) akhirnya berhenti menulis dengan alasan yang klasik, karena tidak bisa lagi menangkap ide, karena tidak bisa lagi fokus, karena tidak tahu lagi apa yang hendak ditulis, karena ini itu dan berjubel alasan yang membelenggu cintanya untuk menulis. Kata kunci di sini adalah repetisi. Dengan melakukan repetisi atau pengulangan, maka semangat menulis akan senantiasa terjaga, awet dan menghasilkan karya. Itu yang penting.

Kedua, berhenti belajar. Sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai di perguruan tinggi, belajar menjadi salah satu bagian dari proses mencapai kesuksesan. Sukses dalam segala hal. Berhenti belajar sama artinya berhenti bekerja. Atau yang lebih ekstrim berhenti bernafas alias mati. 

Bila Anda telah berhasil menulis satu artikel sederhana, itu berarti Anda bisa menulis lebih banyak dan lebih baik. Soal kualitas, insya ALLAH, akan dirasakan setelah proses kreatif menulis dilakukan dalam rentang waktu yang lama. Walau kenyataannya banyak penulis yang tulisannya berkualitas dalam waktu yang cukup singkat. Semoga hal tersebut juga kita dapat raih. Semoga.

Belajar semestinya memang menjadi program sepanjang hayat. Hal itu berarti bahwa belajar menjadi kewajiban bagi makhluk bernama manusia. Dalam dunia tulis menulis, belajar adalah faktor krusial di samping banyak faktor lain. Alangkah sayang bila seseorang yang telah menghasilkan sebuah karya atau beberapa karya, kemudian karena terlena oleh hasil, atau merasa puasa dengan capaiannya saat itu, kemudian berhenti belajar. Padahal, dengan belajar dan terus mengasah kemampuan menulisnya itu kelak akan membesarkan namanya, baik diinginkan ataupun tidak

Bila seorang penulis malas belajar atau bahkan enggan untuk belajar, maka barangkali saya sedikit kasar bila mengatakan mereka itu penulis yang, maaf, tolol. Penulis kok malas belajar? Wah, bisa kalah dari anak SD. 

Berhenti belajar akan berdampak pada kualitas tulisan. Nyata sekali perbedaan kualitas karya antara penulis yang selalu mengasah kemampuannya dengan terus menulis dan berlatih dengan mereka yang hanya mengandalkan satu dua artikel dan berhenti belajar. Dari aspek kualitas juga kuantitas, dapat tercipta karya yang berbobot dari mereka yang senantiasa belajar dan mengasah kualitas tulisan

Bila mau jujur, sebenarnya semua penulis adalah orang yang cerdas karena berhasil memberdayakan dan memanfaatkan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Hanya saja ada yang berhasil menjadi profesional karena mensyukuri pemberian-Nya dengan senantiasa mengasahnya, dan ada yang menjadi biasa-biasa saja karena pasrah, bangga, bahkan merasa puas dengan apa yang dicapainya. Walaupun dengan hasil apa adanya dan ala kadarnya. 

Kasihan, ya. Bila bisa menghasilkan lebih, mengapa harus membatasi diri? Bila bisa melejit kenapa berhenti di tengah jalan? Bila bisa menjadi bintang kenapa menjadi badai? Beberapa pertanyaan yang penting untuk direnungkan oleh mereka yang mendambakan keberhasilan. Khususnya bagi mereka yang hendak berhasil dalam proses kreatif menulis. Jadi, teruslah belajar. Seperti pepatah anak sekolah yang selalu terngiang di telinga, rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh. Sinkronisasinya, rajin belajar pangkal pelejit kualitas diri, malas dan berhenti belajar pembunuh potensi diri. 

Yang terakhir, sediakan payung sebelum hujan. Masih ingat pepatah ini, bukan? Pepatah ini kita dapatkan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah. Bahkan, pada jenjang pergutuan tinggi, masih kita pelajari di Fakultas Sastra

Sedia payung sebelum hujan. Sedia buku sebelum belajar. Sedia lauk sebelum makan. Sedia ongkos sebelum naik oplet. Sedia mental sebelum menikah. Yang tidak dianjurkan dan sangat diharamkan, sedia uang sebelum berjudi, pasti Anda masuk jeruji, entah di dunia atau di akhirat. Kalau hendak menjadi seorang penulis, ya sedia mental sebelum memulai, sedia ide sebelum menulis. Maka, jadilah penulis kreatif.
Categories:

0 Komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!