Rasanya, saya ingin menumpahkan semua uneg-uneg saya tentang sahabat. Saya sangat senang memiliki sahabat. Bahkan kalau bisa, saya ingin menkadikan setiap orang yang saya temui sebagai sahabat sejati saya.

Saya memiliki banyak kawan, namun tidak semua kawan itu sahabat. Bagi saya, sahabat lebih dari seorang kawan, bahkan kadang lebih akrab dari saudara. Mungkin Anda, dan orang-orang yang punya sahabat merasakan itu. Ada banyak perbedaan; baik rasa maupun semangat ketika bertemu sahabat, amat berbeda bila bertemu kawan biasa.
Sejumlah sahabat memiliki perangai berbeda. Pada perangai itulah tertanam karakter yang beragam pula. Perangai dan karakter apa bedanya? Ah, bukan di sini tempat menjelaskannya. Saya ingin mengurai tentang sahabat bukan tentang bahasa :-)
Apa yang menarik dari seorang sahabat? Banyak, kawan. Banyak hal yang kadang sulit diterjemahkan dengan melakoni setiap kisah kehidupan bersama sahabat. Kata-kata, kadang tidak cukup ditumpahkan dalam buku catatan harian. Banyak kisah bersama sahabat, dari kisah pilu sampai kisah lebay. Kau pernah mengalaminya? Kau semestinya memiliki sahabat agar kau merasakan kisah hidup yang “lebih seru”, tentunya. Sahabat itu, ah, gimana gitu :-)
Sosok sahabat yang begitu berkesan dari pengalaman hidup saya, sebut saja si A. Usianya menginjak kepala empat, namun keramahannya sering membuat betah ketika ngobrol. Sahabat yang satu ini sangat tawadhu. Perangainya santun dan selalu menghargai orang lain, baik tua atau muda. Mencari-cari aib orang bukanlah sifatnya. Ya, jelas berbeda dengan orang kebanyakan yang gemar menggunjing orang lain. Pernah, suatu waktu di musallah, sahabat ini memimpin salat jamaah. Apa yang terjadi saudara-saudara? Beliau yang juga suka menghapalkan Alquran ini menangis tersedu ketika membaca Alquran dalam salatnya. Itu tentu bukan hal biasa bagi banyak imam salat di luar sana. Juga tidak biasa bagi saya.
Sosok sahabat yang “tua” di atas idealnya menjadi contoh bagi banyak kawan yang baik. Akhlaknya selalu menjadi teladan dalam kehidupan. Kehadirannya selalu dirindukan :-) yang paling berkesan ketika belaiu membantu orang tanpa tanda tanya. Maksudnya tanpa pamrih, begitu. Nah, semoga Anda juga memiliki sahabat sejati seperti itu, amin.
Ada sosok sahabat lain. Mungkin tidak sebaik dari yang pertama tadi. Namun, patut juga menjadi contoh pada beberapa karakternya yang baik. Perlu menjadi catatan, setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruknya, bukan? Nah, ada baiknya kita ungkap yang baik saja agar tidak menjadi gibah bagi pembaca tulisan ini.
Sahabat ini, sebut saja si B, usianya masih muda. Terbilang lebih muda dari saya. Ya, kepala dua, alias dua puluhan. Karakternya memang “keras” dalam pengertian gigih dalam memperjuangkan keinginannya. Apa yang dimimpikan harus digapai, baik dalam rentang waktu dekat atau pun lama. Sosok sahabat ini selalu tampil ceria di hadapan kawan-kawannya. Mudah bergaul dan open mind kepada siapa saja, khususnya kepada orang yang baru ditemuinya.
 

Hal paling berkesan, ketika sahabat ini jatuh sakit. Menurut petuah, ketika seseorang sakit, hendaklah kita menjenguknya agar terjalin ikatan persaudaraan yang lebih kuat. Begitu barangkali. Mungkin Anda pernah sakit. Ketika dijenguk oleh teman, bagimana perasaan Anda? Rasanya ada kebahagiaan dalam jiwa. Terbersit rasa ada yang memerhatikan, ada orang yang peduli di tengah banyaknya orang yang cuek bebek. Momen seperti itulah yang sering memunculkan kesan yang kuat agar rasa kasih dan rasa sayang lebih membekas. 

Setelah kunjungan itu, dan Anda jadi sehat kembali, maka terjalinlah persahabatan yang lebih erat. Begitulah, saya mengalaminya :-)
Sulit menggambarkan kebaikan sahabat yang satu ini, namun demikianlah adanya. Setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan yang lain, baik dihargai atau dilupakan. Menjadi pribadi yang baik sangat penting dan dibutuhkan dalam menjalin persahabatan. Dari baiknya akhlak itu, pergaulan akan lebih menyenangkan. Oh, indahnya persahabatan dengan orang-orang yang baik. Semoga sahabat Anda demikian adanya.
Kisah persahabtan dengan sosok si B ini menjadikan saya dengan dia seperti saudara. Kawan-kawan mengatakan, kami seperti adik dan kakak :-) bila itu positif, diterima saja. Kau tahu kawan, berbagi makanan sudah biasa bagi kami. Ketika sakit saling menjenguk. Ketika butuh pertolongan saling membantu. Ketika tidak hadir dalm suatu lawatan, saling mencari. Kehadirannya selalu dirindukan. Mungkin demikian ikatan kuat persahabtan itu saya rasakan. Semoga sahabat seperti ini semakin banyak, amin.
Banyak sahabat lain yang tidak bisa saya dekripsikan dalam catatan kecil ini. Bagi saya, mereka adalah orang-orang biasa yang luar biasa sebab mereka selalu hadir ketika dibutuhkan, dan sering menjadi penguat ketika sedang “galau” tingkat tinggi.
Temukanlah sahabat terbaikmu! Setiap manusia idealnya dapat menjadi sahabat terbaik. Tempatkan diri sebagai orang yang terbuka dalam menerima kritik. Tetaplah santun dalam bernasihat. Tetaplah sabar dalam menerima kekurangan sahabatmu. Doakan mereka yang mungkin sering khilaf menyakiti perasaanmu. Begitulah.
Sahabat bagi saya, kawan terbaik menuju surga. Sahabat itu dapat menjadi wasilah agar kita meraih surga, insya- Allah. Sahabat itu, everything J Mengapa? Ya, kau tahu kawan, rasulullah pun memiliki banyak sahabat terbaik dalam kehidupan belaiu, dan sahabat terbaik beliau adalah Abu Bakar RA.
Temukanlah sahabat terbaikmu! 

Salam sahabat :-)
Kau tahu kawan, di masa kecil, hidup saya bergantung pada pertanian sebab dalam hal perut dan kebutuhan primer lainnya, orang tua saya bekerja sebagai petani. Hidup di sebuah desa yang jauh dari polusi begitu membahagiakan, dan tentu saja sehat. Kau merasakannya, kawan? 

Hmmm, hidup tanpa polusi itu sesuatu yang langka di negeri ini. Apalagi di kota Jakarta yang tingkat polusinya sangat mendunia.
Sejak kecil, saya tidak punya cita-cita yang pasti. Maklum. Saya hidup dengan latar belakang keluarga yang hampir semua bekerja sebagai petani. Hidup di lingkungan para petani membuat saya tidak memiliki cita-cita besar seperti anak-anak yang tinggal di perkotaan. Bagi saya, hidup menjadi seorang petani pun sudah menjadi hal yang tabu. 
 
Ya, itu bukan rahasia. Saya, kawan bermain, dan orang-orang yang ada di kampung, rasa-rasanya sudah terbiasa hidup dan bergelut dengan lumpur dan teriknya matahari. Begitulah. Mungkin itu alasan yang tepat sehingga memiliki cita-cita yang tinggi bukan lagi primadona.
Bagi orang desa seperti saya, menjadi petani sudah jadi biasa. Kalau ada yang sukses jadi polisi, itu sudah keberhasilan yang patut dibanggakan. Tidak jarang terdengar samar-samar bisikan tetangga, mereka yang biasanya lolos jadi polisi karena sogokan puluhan juta. Entahlah. Namun, sepertinya itu bukan lagi rahasia. Pernah juga terngiang di telinga, ketika kakak saya ingin agar saya jadi polisi di salah satu daerah di Kota Ternate, Maluku. Katanya ada kenalan di sana. Ya ela, kalau nyogok saya tidak mungkin mau. Kalaupun mau, mending cari profesi lain.
Kau tahu kawan, sebagai anak bangsa yang juga ingin menikmati keberhasilan, saya sangat ingin menjadi guru. Kata guru agama di sekolah dulu, guru itu banyak pahalanya. Bahkan disebut-sebut pahalanya mengalir sampai mati nanti. Hebat, bukan? :-)
Menjadi guru? Itu bukan lagi mimpi kawan, sebab saya sudah menggapainya. Namun, rasa-rasanya belum benar-benar total menggelutinya. Kau tahu kenapa, kawan? Aha, saya akhirnya tahu dan sadar bahwa menjadi guru itu memang asyik tapi lebih asyik kalau tidak jadi guru :-) 

Lebih dari empat tahun mengajar membuat saya punya pilihan profesi lain. Saya merenung tingkat tinggi sampai tahu betul saya cocoknya menggeluti profesi yang tepat dan sesuai dengan passion saya. “Jadi, kau mau berhenti mengajar dan tidak menjadi guru lagi?” Hehehe, bukan begitu kawan. Kau tahu, betapa tersikasanya saya selama empat tahun itu? Tapi sudahlah. Bicara soal pahala, menjadi guru memang yang terbaik, dan saya masih “bisa” menikmatinya.
Saya ingin menjadi guru, penulis, editor, atau apalah namanya yang berkaitan dengan menulis dan buku. Mungkin jurnalis atau wartawan. Entahlah. Yang jelas, bercumbu dengan gagasan, kata=kata, kalimat, dan alinea-demi aline itu punya pesona tersendiri. Mungkin saya telah benar-benar kehilangan arah dan tujuan profesi sebab di perguruan tinggi saya memilih menjadi guru bahkan menyabet predikat wisudawan terbaik di bidang pengajaran itu.
Mengambil jurusan guru dan menjadi guru sebenarnya bukan pilihan “sadar” sebab semua berjalan begitu saja. Yang paling membekas, ketika belajar di sekolah menengah, saya takjub dengan kebaikan seorang guru bahasa. Maka menjadilah saya siswa yang gandrung belajar bahasa, bahkan sastra. 

Sejak perkenalan dengan guru bahasa itu, saya banyak belajar tentang “ambisi”, bagaimana agar sukses dan berhasil meraih mimpi. Saya akhirnya belajar menulis, berpidato, sampai menggeluti dunia sastra dengan menghadiri beberapa seminar sastra. Yang paling berkesan, saya pernah melatih keterampilan berbicara dengan ikut lomba pidato di sekolah dan keluar sebagai juara pertama. Kau tahu kawan, itu kereeeeen :-)
Asal kau tahu kawan, orang-orang desa seperti saya dan banyak lagi anak desa lainnya, mempunyai cita-cita tinggi itu sesungguhnya bukan tuntutan. Namun, keadaanlah yang membuat kami harus berani melawan arus. Menjadi guru, polisi, dokter, hingga pilot, kadang hanya terngiang di telinga tanpa upaya. Kehidupanlah yang mengajari kami, anak-anak desa, untuk berani menggapai apa yang kami mimpikan dan harus diperjuangkan.
Kawan, apa cita-cita masa kecilmu?
Tahukah kau, saya pernah memiliki beberapa mimpi ajaib yang telah saya rangkul. Semua itu atas izin Allah, kawan. Kau tahu apa itu? Hmm, menjadi guru. Ah, kau sudah tahulah. Saya pun pernah punya mimpi menjadi pegawai negeri, dan itu sudah mewujud. Pernah juga mimpi ingin tinggal di pulau jawa. Alhasil, saya sekrang bukan hanya tinggal di pulau jawa, bahkan memiliki istri dan anak di sini kawan, di pulau jawa. Kau tahu Jakarta? Saat kecil, Jakarta itu begitu memesona kami, anak-anak desa. Alhamdulillah, saya sudah ke Jakarta dan merasa tidak betah. 

Banjir, polusi, kriminl, dan berbagai permasalahan masyaraat perkotaan sudah menumpuk di Jakarta. Saya pun pernah mimpi menjadi seorang penulis dan akhirnya kini telah banyak menulis artikel, membuat blog sendiri, sampai menulis naskah buku. Beberapa karya tulis pun sudah mejeng di media nasional dan dibaca banyak orang di negeri ini. Bertemu dengan para penulis juga tidak ketinggalan, loh. Itu keren banget, kawan. 
Setinggi apapun cita-cita itu, sebenarnya saya pernah punya cita-cita sederhana seperti hidup sederhana sekalipun mampu menggapainya. Kau tahu apa itu, kawan? Saya tidak nyaman tidur di atas kasur empuk, rasanya cukup mengganggu. Akhirnya, saya meminta istri agar tidka perlu membeli dan menggunakan kasur empuk. Alhamdulillah, itu pun kami ajarkan kepada anak tercinta. Kau tahu kenapa? Ya, hanya berupaya mengikuti kesederhanaan Rasulullah. Banyak orang mungkin tidak menerima itu, namun di sanalah kebahagiaan itu kami rahasiakan :-)
Bicara soal cita-cita, sepertinya tidak ada ujung pangkalnya. Jadi, ada baiknya kau terjemahkan mimpimu melalui upaya. Maksimalkan itu. Mungkin ada mimpi yang belum kau gapai. Berusahalah. Mungkin bila kau lebih gigih, hasil terbaik tinggal menghitung hari. Ya, begitu barangkali.
Apa cita-cita masa kecilmu, kawan?
Musik, terus terang saya tidak terlalu gandrung dengan musik. Konon, bahkan beberapa penelitian merilis tentang banyaknya manfaat musik bagi kesehatan. Entahlah. Ketika membuka sebuah situs kesehatan, saya menemukan telaah tentang manfaat musik begini, “Musik adalah bagian terpenting dari kesehatan fisik dan emosional bahkan sejak bayi di dalam rahim ibu, mendengarkan detak jantung dan irama pernapasan. Mendengarkan musik favorit akan membuat suasana hati anda semakin membaik selain itu penelitian yang lebih lanjut menemukan adanya hubungan antara mendengarkan musik dengan kesehatan. Bahkan musik dapat meringankan penyakit yang diderita oleh pasien, selanjutnya ditemukan adanya hubungan kesehatan dengan mendengarkan musik.

Saya tidak terlalu memikirkan pendapat para pakar kesehatan yang mengorelasikan kesehatan seseorang dengan kebiasaan mendengarkan musik. Kata orang, tanpa musik hidup itu hampa. Namun, itu tidak saya jadikan sebagai sebuah akidah. Sudah nyata, dewasa ini sangat mudah kita mendengarkan musik, termasuk lagu. Bahkan tanpa disengaja pun, musik dan lagu senantiasa berseliweran di sekitar kita.

Di terminal, orang-orang suka mendengarkan musik. Di angkutan umum, juga angkutan pribadi, musik senantiasa menggema. Di jalan-jalan Ibu kota sampai pelosok negeri, bocah-bocah dan remaja bangsa sangat piawai memainkan musik. Di sekolah hingga perguruan tinggi pun para pengajar mengajar dengan musik. Bahkan ada yang sengaja kursus dan les musik dengan bayaran selangit. Musik sudah jadi bagian dari kehidupan manusia modern, apalagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Tidak jarang, konser musik dibanjiri pendengar dan penikmatnya dengan biaya yang cukup menggigit. Yang pasti, musik hadir dan menyebar seperti virus yang kebal, tidka terbendung.

Anda suka musik, penggemar musik, atau atau pemain musik? Hmmm, itu pilihan sadar. Bagi saya, musik sepertinya tidak memiliki tempat dan ruang khusus dalam keluarga. Alasan yang paling rasional, saya ingin mendidik anak-anak saya menjadi penghapal Alquran. Bahkan jauh hari, sebelum anak saya lahir, saya dan istri telah melakukan rembug agar kelak anak kami menjadi seorang hafidz. Itu akan sangat membanggakan kami sebagai orang tua, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Penghapal Alquran itu sangat keren :-)

Sudah bukan rahasia, anak-anak penghapal Alquran memiliki tempat yang sangat istimewa dalam masyarakat. Tentu itu bukan tujuan sebab yang mulia dari seorang hafidz adalah menghapal dan beramal dengan Alquran untuk mencari wajah Allah, dan itu berarti akan memuliakan mereka yang mendidiknya juga, orang tua. Secara pribadi, saya sering menangis bila melihat anak-anak penghapal Alquran berseliweran di sekitar saya. Entah mengapa, namun itu sangat luar biasa bagi saya. Ada sentuhan yang sangat lembut menembus qalbu ketika mendengar lantunan ayat suci dibacakan oleh para penghapalnya. Mungkin itu yang menggerakkan saya agar kelak memiliki anak-anak qurani.

Satu pengalaman kurang berkesan di suatu hari, ketika saya, istri, anak, dan ibu mertua hendak ke Jakarta dari terminal Slawi, Jawa Tengah. Sudah menjadi kebiasaan, para sopir angkutan menyetel musik dan lagu dengan suara menggelegar dia atas kendaraan mereka. Bahkan tanpa memedulikan para penumpang, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, pasti akan dinikmati. Ketika bus yang kami tumpangi muali bergerak dan melaju, benar saja, musik mulai mendayu-dayu. Saya gelisah, gusar, namun tidak bisa berbuat banyak. Maka, handphone istri yang memuat beberapa aplikasi islami segera saya bunyikan. Menggemalah lantunan ayat suci dari ponsel istri. Saya mendekatkannya ke telinga anak kami yang sedang tertidur pulas. Tujunnya, agar musik tidak mebgusik pikirannya. Suasana seperti itu terus berlangsung sampai ponsel istri lowbat. Saya pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Anda suka musik? Silakan, saya mungkin punya pendapat sendiri mengenai ini sebab saya punya cita-cita berkaitan dengan pertumbuhan anak saya. Saya ingin anak saya tumbuh menjadi penghapal Alquran. Maka saya sangat setuju bila ada yang mengatakan bahwa Alquran dan musik tidak bisa hadir dalam diri seorang muslim secara bersamaan. Mungkin itu sebabnya saya belum pernah menemukan seorang penghapal Alquran yang gandrung dengan musik. 

Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik....” Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
Jangan malu. Menulis harus pede. Harus percaya diri sebab banyak orang bergelar tidak bisa menulis. Banyak orang yang suka bicara tentang tulisan tetapi tidak juga menulis. Jadi, tetaplah optimis dan menulis. Menulis itu mudah. Menulis harus percaya diri.

Bagi sebagian orang, menulis itu mudah, dapat dilakukan kapan saja. Sambil minum teh, ngetik di laptop, tedeeeng, jadilah satu artikel. Penulis “jantan” itu selalu produktif karena tidak dibelenggu perasaan sakit hati pembaca karyanya. Kalau saya, ya... bergantung minat saja sih, kalau sedang kebelet mau menulis, ya menulis. Kalau sedang malas, ya dibiarkan saja tanpa menulis satu kata pun, alias “mandul” sementara. Namun, ada hal aneh pada jiwa seorang penulis pemula, bahkan kadang merasuki jiwa saya sebagai (juga) penulis pemula. Malu. Malu berkarya. Kalau sudah punya karya, malu dibaca orang, malu kalau-kalau karena tulisan yang dibuat jadi bikin orang tertawa atau mencla-mencle karena tulisan tidak berkualitas.
Bicara soal malu bila karya tulis kita dibaca orang, itu sudah jadi penyakit hampir semua penulis yang belum punya “nama”, tidak terkecuali saya. Saya bahkan sudah menulis tumpukan artikel, dari yang sederhana sampai yang serius. Beberapa kali ikut lomba menulis, dari yang sifatnya lokal sampai nasional, eh masih saja tidak pede. Nah, kalau penulis tipe seperti ini kan bisa bahaya masa depannya?
Anda mungkin pernah mengalami hal serupa di atas. Maklumlah, kita sama-sama belajar menulis maka lumrah bila kita malu kalau tulisan kita dibaca orang. Alibi yang paling mendasar adalah perasaan khawatir kalau-kalau tulisan kita dibilang jelek, berantakan, tidak enak dibaca, atau mungkin takut kalau orang lihat judul tulisan kita, langsung dibuang ke tong sampah tanpa berperi kemanusiaan. Walah, itu sangat menyakitkan. Sakitnya tuh di sini... iya di sini :-) halaaah. Penulis kok cengeng bingits yak.
Hey, kamu, ya kamu yang ngaku penulis, biarpun masih kategori penulis kacangan, yang kalau malam masih “ngompol” atau tidur harus diiringi “nina bobo” drakula-drakula kecil, jangan mau kalah. Harus berani unjuk gigi. Mengapa? Sebab tidak semua orang memiliki kemampuan menulis seperti kita. Coba saja tanya kepada orang-orang bersekolah tinggi di sekitar kita, mampukah mereka menulis seperti yang kita lakukan? Mungkin di atas 50 % mengatakan TIDAK. Ya, sebab menulis itu istimewa, Bos. Tidak semua orang bisa. Jadi, bersyukurlah kalau Allah memberikan kemampuan menulis bagi kita. Entah tulisan dan hasilnya sudah baik atau belum, itu persoalan belakang. Kalau kemampuan menulis terus diasah, kedepan tulisan kita akan semakin baik dan semakin dihargai orang. Bukan, begitu?
Nah, menulis itu butuh keberanian. Keberanian untuk menunjukkan karya kita kepada orang lain, pembaca karya-karya kita. Mereka adalah penikmat karya yang kita tulis sampai bela-belain lembur semalaman karena sengaja menyempatkan berkarya untuk mereka. Jadi, sesungguhnya jasa para penulis itu sangat besar sebab mereka menebar ilmu, bahan bacaan bagi orang lain, bahkan kepada mereka yang tidak dikenal. Anda mengalaminya? Semestinya demikian.
Nah, sebagai kesimpulan dari tulisan yang gak jelas ini, menjadi penulis itu memang banyak risikonya. Salah duanya adalah rela meninggalkan hobi sementara untuk membuat bahan bacaan bagi penikmatnya dan rela kehilangan muka di hadapan para pembaca karena kekhawatiran-kekhawatiran yang sudah saya sebutkan di awal.
Kawan, menulis itu susah loh. Jadi, kalau Anda sudah bisa menulis, itu prestasi yang perlu diapresiasi. Soal bagaimana penilaian orang terhadap karya kita bukanlah pertanda “kiamat” bagi semesta alam. Kalau mau jujur, tulisan yang sedikit menggelitik alias buruk pun, pada satu sisi masih ada saja yang mau membacanya. Mereka menikmati tulisan kita, bahkan mungkin memberi penghargaan secara tidak langsung. Kadang mereka mengatakan, tulisan seperti ini kok bisa ditulis dan dibaca orang ya, padahal kan gak bagus –bagus amat? Nah, bukankah itu sudah menjadi tanda bahwa kita lebih baik dari orang yang sekadar menulis satu alinea sederhana pun tidak?
Menulislah. Jangan malu, sebab kalau malu bisa terhambat produktivitas menulis itu. Seburuk apapun tulisan kita, selalu ada orang-orang baik yang berkenan membacanya. Percaya atau tidak, silakan dibuktikan.
Terakhir, terima kasih karena Anda telah membaca tulisan ini sampai tuntas. Kalau mau jujur, sebenarnya saya juga malu kalau-kalau ada pembaca yang menghardik tulisan tidak bermutu ini. Namun akhirnya, saya bisa menuntaskannya hingga Anda pun tuntas membacanya :-)
Koran atau surat kabar pertama di Indonesia tampil pada pertengahan abad ke-18. Itupun diterbitkan oleh Belanda dan berbahasa Belanda. Kalau anda hadir di zaman itu, itu berarti anda semestinya harus bisa berbahasa Belanda untuk bisa membaca koran. 
Koran yang notabene digunakan sebagai media informasi, pertama kali hadir di Indonsia dengan nama Warta Berita yang konon terbit pada tahun 1901. Ngiming-ngiming, eh ngomong-ngomong kalau membahas tuntas tentang korang cukup panjang juga. Persis seperti membaca koran, panjaaaang tulisannya. Membacanya bikit kesemsem, bahkan mungkin bisa kena keram, hehehe.
Saya memiliki pengalaman indah bersama koran, hehehe. Koran itu seperti istri, melihatnya saja sudah membahagiakan, apalagi menikmatinya, eh menikmati korannya maksud saya. Tuh, kan jadi salah tulis. Pada zaman dahulu kala, saya sangat suka membaca koran. Bahkan memaksa diri berlangganan setiap bulan. Kalau membaca lead tulisan pada artikel-artikel di dalamnya, mata saya seperti mendapat suplemen menyehatkan. Hahaha, boong banget  :-)
Saya dan koran punya cerita, cerita tentang kehidupan anak-anak muda yang “gemar” menganggur. Ya kalau mau terus terang, koran itu memberi banyak efek positif dalam hidup saya. Di antaranya, koran media memulung inspirasi, baik untuk tulisan yang ingin saya buat atau sekadar menambah pengetahuan dengan beragam tema dan judul tulisan di dalamnya. Gara-gara koran, saya jadi keranjingan menulis artikel dan akhirnya bisa dimuat dan dibaca orang di koran-koran. Betapa senang dna membahagiakan kala itu.
Dari koran, berbagai informasi seperti lowongan kerja juga bisa saya peroleh. Apatah lagi dahulu itu saya belum bekerja. Maka menjadilah koran sebagai media menelusuri lowongan pekerjaan dari kantor ke kantor, dari perusahaan ke perusahaan, bahkan dari sekolah ke sekolah. Begitulah, nasib pengangguran intelektual seperti saya terkatung-katung di dalam koran. Kasing bingits, hikhikhik. Namun, jangan salah, koran juga sangat berjasa dalam keberlangsungan hidup saya di alam semesta ini. Jadi, jangan salahkan koran :-)
Coba tengok, di jalan-jalan orang sibuk menjual koran, dari penjual dan pedagang kecil di emperan kota hingga warung-warung cabe di pelosok negeri. Koran itu seperti jamur, menjamur di bumi pertiwi. Bahkan mungkin tidak terbendung. Ada yang suka membaca koran, sangat suka sampai “sakit” kalau dalam sehari tidak membaca koran. Ada juga yang biasa-biasa saja, membaca koran atau tidak ya tidak masalah, yang penting masih hidup. Bagi saya, koran itu cukup sebagai pelengkap kehidupan, minimal untuk menelusuri lowongan pekerjaan. Karena koran, saya sempat beberapa kali mendapat undangan wawancara kerja walau semua ditinggalkan. Karena koran pula, saya sempat bersedih hati ketika pertama kali mendaftar pegawai negeri dan dinyatakan tidak lulus di dalam koran. Itu rasanya gimana gitu. Walau akhirnya pada tahun berikutnya, saya pun bisa jadi pegawai negeri, horeee. Taaaaapi, akhirnya resign juga.
Hadirnya koran di tengah-tengah masyarakat setidaknya juga membantu orang-orang untuk bekerja. Banyangkan saudara-saudara, penjual koran tuh banyak sekali di negeri ini. Dari pemuda samapi kakek-kakek. Nah, pernah melihat ornag jual koran tapi sudah tua? Itu mah sering saya dapatkan. Itu orang tua bertanggung jawab namanya. Bandingkan dengan banyak remaja dan pemuda, yang menjual koran pun malu-malu. Remaja dna pemuda kini, kalau jual koran bilangnya gengsi, pas ngamen bilangnya keren. Apa kata dunia?
Anda bisa telusuri koran yang setiap hari terbit. Beragam informasi dapat kita peroleh dengan mudah, bahkan hanya membuaka lembaran demi lembaran dengan harta relatif mudah. Koran itu gundukan ilmu juga, walau tidak setenar Alquran. Rajin membaca koran tapi jangan lupa baca Alquran. Logikanya, menambah pengetahuan harus senantiasa berkorelasi antara akhirat dan dunia. Mengapa? Ya karena banyak yang suka dan gemar membaca koran tapi tak bisa baca Alquran. Itu kan dungu namanya. Gelar akademik tinggi, eh ngeja huruf Hijaiyah tidak bisa. Ke mana saja, Om?
Begitulah, gara-gara koran.
Baca koran jangan lupa baca Alquran. Nyari sumber ilmu dalam koran, jangan lupa ilmu dalam Alquran. Nyari lowongan, ya nyari di koran tidak masalah yang penting jangan lupa minta kepada Allah. Nah, kalau belajar menulis, bisa tuh nyari inspirasi melalui koran, seperti tulisan cerewet ini, hehe. Semua gara-gara koran. Anda suka koran?
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!