Jangan malu. Menulis harus pede. Harus percaya diri sebab banyak orang bergelar tidak bisa menulis. Banyak orang yang suka bicara tentang tulisan tetapi tidak juga menulis. Jadi, tetaplah optimis dan menulis. Menulis itu mudah. Menulis harus percaya diri.

Bagi sebagian orang, menulis itu mudah, dapat dilakukan kapan saja. Sambil minum teh, ngetik di laptop, tedeeeng, jadilah satu artikel. Penulis “jantan” itu selalu produktif karena tidak dibelenggu perasaan sakit hati pembaca karyanya. Kalau saya, ya... bergantung minat saja sih, kalau sedang kebelet mau menulis, ya menulis. Kalau sedang malas, ya dibiarkan saja tanpa menulis satu kata pun, alias “mandul” sementara. Namun, ada hal aneh pada jiwa seorang penulis pemula, bahkan kadang merasuki jiwa saya sebagai (juga) penulis pemula. Malu. Malu berkarya. Kalau sudah punya karya, malu dibaca orang, malu kalau-kalau karena tulisan yang dibuat jadi bikin orang tertawa atau mencla-mencle karena tulisan tidak berkualitas.
Bicara soal malu bila karya tulis kita dibaca orang, itu sudah jadi penyakit hampir semua penulis yang belum punya “nama”, tidak terkecuali saya. Saya bahkan sudah menulis tumpukan artikel, dari yang sederhana sampai yang serius. Beberapa kali ikut lomba menulis, dari yang sifatnya lokal sampai nasional, eh masih saja tidak pede. Nah, kalau penulis tipe seperti ini kan bisa bahaya masa depannya?
Anda mungkin pernah mengalami hal serupa di atas. Maklumlah, kita sama-sama belajar menulis maka lumrah bila kita malu kalau tulisan kita dibaca orang. Alibi yang paling mendasar adalah perasaan khawatir kalau-kalau tulisan kita dibilang jelek, berantakan, tidak enak dibaca, atau mungkin takut kalau orang lihat judul tulisan kita, langsung dibuang ke tong sampah tanpa berperi kemanusiaan. Walah, itu sangat menyakitkan. Sakitnya tuh di sini... iya di sini :-) halaaah. Penulis kok cengeng bingits yak.
Hey, kamu, ya kamu yang ngaku penulis, biarpun masih kategori penulis kacangan, yang kalau malam masih “ngompol” atau tidur harus diiringi “nina bobo” drakula-drakula kecil, jangan mau kalah. Harus berani unjuk gigi. Mengapa? Sebab tidak semua orang memiliki kemampuan menulis seperti kita. Coba saja tanya kepada orang-orang bersekolah tinggi di sekitar kita, mampukah mereka menulis seperti yang kita lakukan? Mungkin di atas 50 % mengatakan TIDAK. Ya, sebab menulis itu istimewa, Bos. Tidak semua orang bisa. Jadi, bersyukurlah kalau Allah memberikan kemampuan menulis bagi kita. Entah tulisan dan hasilnya sudah baik atau belum, itu persoalan belakang. Kalau kemampuan menulis terus diasah, kedepan tulisan kita akan semakin baik dan semakin dihargai orang. Bukan, begitu?
Nah, menulis itu butuh keberanian. Keberanian untuk menunjukkan karya kita kepada orang lain, pembaca karya-karya kita. Mereka adalah penikmat karya yang kita tulis sampai bela-belain lembur semalaman karena sengaja menyempatkan berkarya untuk mereka. Jadi, sesungguhnya jasa para penulis itu sangat besar sebab mereka menebar ilmu, bahan bacaan bagi orang lain, bahkan kepada mereka yang tidak dikenal. Anda mengalaminya? Semestinya demikian.
Nah, sebagai kesimpulan dari tulisan yang gak jelas ini, menjadi penulis itu memang banyak risikonya. Salah duanya adalah rela meninggalkan hobi sementara untuk membuat bahan bacaan bagi penikmatnya dan rela kehilangan muka di hadapan para pembaca karena kekhawatiran-kekhawatiran yang sudah saya sebutkan di awal.
Kawan, menulis itu susah loh. Jadi, kalau Anda sudah bisa menulis, itu prestasi yang perlu diapresiasi. Soal bagaimana penilaian orang terhadap karya kita bukanlah pertanda “kiamat” bagi semesta alam. Kalau mau jujur, tulisan yang sedikit menggelitik alias buruk pun, pada satu sisi masih ada saja yang mau membacanya. Mereka menikmati tulisan kita, bahkan mungkin memberi penghargaan secara tidak langsung. Kadang mereka mengatakan, tulisan seperti ini kok bisa ditulis dan dibaca orang ya, padahal kan gak bagus –bagus amat? Nah, bukankah itu sudah menjadi tanda bahwa kita lebih baik dari orang yang sekadar menulis satu alinea sederhana pun tidak?
Menulislah. Jangan malu, sebab kalau malu bisa terhambat produktivitas menulis itu. Seburuk apapun tulisan kita, selalu ada orang-orang baik yang berkenan membacanya. Percaya atau tidak, silakan dibuktikan.
Terakhir, terima kasih karena Anda telah membaca tulisan ini sampai tuntas. Kalau mau jujur, sebenarnya saya juga malu kalau-kalau ada pembaca yang menghardik tulisan tidak bermutu ini. Namun akhirnya, saya bisa menuntaskannya hingga Anda pun tuntas membacanya :-)
Categories:

0 Komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!