
Saya
tidak terlalu memikirkan pendapat para pakar kesehatan yang mengorelasikan
kesehatan seseorang dengan kebiasaan mendengarkan musik. Kata orang, tanpa
musik hidup itu hampa. Namun, itu tidak saya jadikan sebagai sebuah akidah. Sudah
nyata, dewasa ini sangat mudah kita mendengarkan musik, termasuk lagu. Bahkan tanpa
disengaja pun, musik dan lagu senantiasa berseliweran di sekitar kita.
Di
terminal, orang-orang suka mendengarkan musik. Di angkutan umum, juga angkutan
pribadi, musik senantiasa menggema. Di jalan-jalan Ibu kota sampai pelosok
negeri, bocah-bocah dan remaja bangsa sangat piawai memainkan musik. Di sekolah
hingga perguruan tinggi pun para pengajar mengajar dengan musik. Bahkan ada
yang sengaja kursus dan les musik dengan bayaran selangit. Musik sudah jadi
bagian dari kehidupan manusia modern, apalagi mereka yang tinggal di kota-kota
besar. Tidak jarang, konser musik dibanjiri pendengar dan penikmatnya dengan
biaya yang cukup menggigit. Yang pasti, musik hadir dan menyebar seperti virus
yang kebal, tidka terbendung.
Anda
suka musik, penggemar musik, atau atau pemain musik? Hmmm, itu pilihan sadar. Bagi
saya, musik sepertinya tidak memiliki tempat dan ruang khusus dalam keluarga. Alasan
yang paling rasional, saya ingin mendidik anak-anak saya menjadi penghapal
Alquran. Bahkan jauh hari, sebelum anak saya lahir, saya dan istri telah
melakukan rembug agar kelak anak kami menjadi seorang hafidz. Itu akan sangat
membanggakan kami sebagai orang tua, bukan hanya di dunia, tetapi juga di
akhirat. Penghapal Alquran itu sangat keren :-)
Sudah
bukan rahasia, anak-anak penghapal Alquran memiliki tempat yang sangat istimewa
dalam masyarakat. Tentu itu bukan tujuan sebab yang mulia dari seorang hafidz
adalah menghapal dan beramal dengan Alquran untuk mencari wajah Allah, dan itu
berarti akan memuliakan mereka yang mendidiknya juga, orang tua. Secara pribadi,
saya sering menangis bila melihat anak-anak penghapal Alquran berseliweran di
sekitar saya. Entah mengapa, namun itu sangat luar biasa bagi saya. Ada sentuhan
yang sangat lembut menembus qalbu ketika mendengar lantunan ayat suci dibacakan
oleh para penghapalnya. Mungkin itu yang menggerakkan saya agar kelak memiliki
anak-anak qurani.
Satu
pengalaman kurang berkesan di suatu hari, ketika saya, istri, anak, dan ibu
mertua hendak ke Jakarta dari terminal Slawi, Jawa Tengah. Sudah menjadi kebiasaan,
para sopir angkutan menyetel musik dan lagu dengan suara menggelegar dia atas
kendaraan mereka. Bahkan tanpa memedulikan para penumpang, suka atau tidak
suka, mau atau tidak mau, pasti akan dinikmati. Ketika bus yang kami tumpangi muali
bergerak dan melaju, benar saja, musik mulai mendayu-dayu. Saya gelisah, gusar,
namun tidak bisa berbuat banyak. Maka, handphone istri yang memuat beberapa
aplikasi islami segera saya bunyikan. Menggemalah lantunan ayat suci dari
ponsel istri. Saya mendekatkannya ke telinga anak kami yang sedang tertidur
pulas. Tujunnya, agar musik tidak mebgusik pikirannya. Suasana seperti itu
terus berlangsung sampai ponsel istri lowbat. Saya pun tidak bisa berbuat
apa-apa.
Anda suka musik? Silakan, saya
mungkin punya pendapat sendiri mengenai ini sebab saya punya cita-cita
berkaitan dengan pertumbuhan anak saya. Saya ingin anak saya tumbuh menjadi
penghapal Alquran. Maka saya sangat setuju bila ada yang mengatakan bahwa
Alquran dan musik tidak bisa hadir dalam diri seorang muslim secara bersamaan. Mungkin
itu sebabnya saya belum pernah menemukan seorang penghapal Alquran yang
gandrung dengan musik.
Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh,
benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik....” Diriwayatkan oleh Bukhari secara
mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
0 Komentar:
Post a Comment