Kau
tahu kawan, di masa kecil, hidup saya bergantung pada pertanian sebab dalam hal
perut dan kebutuhan primer lainnya, orang tua saya bekerja sebagai petani.
Hidup di sebuah desa yang jauh dari polusi begitu membahagiakan, dan tentu saja
sehat. Kau merasakannya, kawan?
Hmmm, hidup tanpa polusi itu sesuatu yang langka di negeri ini. Apalagi di kota Jakarta yang tingkat polusinya sangat mendunia.
Hmmm, hidup tanpa polusi itu sesuatu yang langka di negeri ini. Apalagi di kota Jakarta yang tingkat polusinya sangat mendunia.
Sejak
kecil, saya tidak punya cita-cita yang pasti. Maklum. Saya hidup dengan latar
belakang keluarga yang hampir semua bekerja sebagai petani. Hidup di lingkungan
para petani membuat saya tidak memiliki cita-cita besar seperti anak-anak yang
tinggal di perkotaan. Bagi saya, hidup menjadi seorang petani pun sudah menjadi
hal yang tabu.
Ya, itu bukan rahasia. Saya, kawan bermain, dan orang-orang yang
ada di kampung, rasa-rasanya sudah terbiasa hidup dan bergelut dengan lumpur
dan teriknya matahari. Begitulah. Mungkin itu alasan yang tepat sehingga
memiliki cita-cita yang tinggi bukan lagi primadona.
Bagi
orang desa seperti saya, menjadi petani sudah jadi biasa. Kalau ada yang sukses
jadi polisi, itu sudah keberhasilan yang patut dibanggakan. Tidak jarang
terdengar samar-samar bisikan tetangga, mereka yang biasanya lolos jadi polisi
karena sogokan puluhan juta. Entahlah. Namun, sepertinya itu bukan lagi
rahasia. Pernah juga terngiang di telinga, ketika kakak saya ingin agar saya
jadi polisi di salah satu daerah di Kota Ternate, Maluku. Katanya ada kenalan
di sana. Ya ela, kalau nyogok saya tidak mungkin mau. Kalaupun mau, mending
cari profesi lain.
Kau
tahu kawan, sebagai anak bangsa yang juga ingin menikmati keberhasilan, saya
sangat ingin menjadi guru. Kata guru agama di sekolah dulu, guru itu banyak
pahalanya. Bahkan disebut-sebut pahalanya mengalir sampai mati nanti. Hebat,
bukan? :-)
Menjadi
guru? Itu bukan lagi mimpi kawan, sebab saya sudah menggapainya. Namun,
rasa-rasanya belum benar-benar total menggelutinya. Kau tahu kenapa, kawan?
Aha, saya akhirnya tahu dan sadar bahwa menjadi guru itu memang asyik tapi
lebih asyik kalau tidak jadi guru :-)
Lebih dari empat tahun mengajar membuat saya punya pilihan profesi lain. Saya merenung tingkat tinggi sampai tahu betul saya cocoknya menggeluti profesi yang tepat dan sesuai dengan passion saya. “Jadi, kau mau berhenti mengajar dan tidak menjadi guru lagi?” Hehehe, bukan begitu kawan. Kau tahu, betapa tersikasanya saya selama empat tahun itu? Tapi sudahlah. Bicara soal pahala, menjadi guru memang yang terbaik, dan saya masih “bisa” menikmatinya.
Lebih dari empat tahun mengajar membuat saya punya pilihan profesi lain. Saya merenung tingkat tinggi sampai tahu betul saya cocoknya menggeluti profesi yang tepat dan sesuai dengan passion saya. “Jadi, kau mau berhenti mengajar dan tidak menjadi guru lagi?” Hehehe, bukan begitu kawan. Kau tahu, betapa tersikasanya saya selama empat tahun itu? Tapi sudahlah. Bicara soal pahala, menjadi guru memang yang terbaik, dan saya masih “bisa” menikmatinya.
Saya
ingin menjadi guru, penulis, editor, atau apalah namanya yang berkaitan dengan
menulis dan buku. Mungkin jurnalis atau wartawan. Entahlah. Yang jelas,
bercumbu dengan gagasan, kata=kata, kalimat, dan alinea-demi aline itu punya
pesona tersendiri. Mungkin saya telah benar-benar kehilangan arah dan tujuan
profesi sebab di perguruan tinggi saya memilih menjadi guru bahkan menyabet
predikat wisudawan terbaik di bidang pengajaran itu.
Mengambil
jurusan guru dan menjadi guru sebenarnya bukan pilihan “sadar” sebab semua berjalan
begitu saja. Yang paling membekas, ketika belajar di sekolah menengah, saya
takjub dengan kebaikan seorang guru bahasa. Maka menjadilah saya siswa yang
gandrung belajar bahasa, bahkan sastra.
Sejak perkenalan dengan guru bahasa itu, saya banyak belajar tentang “ambisi”, bagaimana agar sukses dan berhasil meraih mimpi. Saya akhirnya belajar menulis, berpidato, sampai menggeluti dunia sastra dengan menghadiri beberapa seminar sastra. Yang paling berkesan, saya pernah melatih keterampilan berbicara dengan ikut lomba pidato di sekolah dan keluar sebagai juara pertama. Kau tahu kawan, itu kereeeeen :-)
Sejak perkenalan dengan guru bahasa itu, saya banyak belajar tentang “ambisi”, bagaimana agar sukses dan berhasil meraih mimpi. Saya akhirnya belajar menulis, berpidato, sampai menggeluti dunia sastra dengan menghadiri beberapa seminar sastra. Yang paling berkesan, saya pernah melatih keterampilan berbicara dengan ikut lomba pidato di sekolah dan keluar sebagai juara pertama. Kau tahu kawan, itu kereeeeen :-)
Asal
kau tahu kawan, orang-orang desa seperti saya dan banyak lagi anak desa
lainnya, mempunyai cita-cita tinggi itu sesungguhnya bukan tuntutan. Namun, keadaanlah
yang membuat kami harus berani melawan arus. Menjadi guru, polisi, dokter,
hingga pilot, kadang hanya terngiang di telinga tanpa upaya. Kehidupanlah yang
mengajari kami, anak-anak desa, untuk berani menggapai apa yang kami mimpikan
dan harus diperjuangkan.
Kawan,
apa cita-cita masa kecilmu?
Tahukah
kau, saya pernah memiliki beberapa mimpi ajaib yang telah saya rangkul. Semua
itu atas izin Allah, kawan. Kau tahu apa itu? Hmm, menjadi guru. Ah, kau sudah
tahulah. Saya pun pernah punya mimpi menjadi pegawai negeri, dan itu sudah
mewujud. Pernah juga mimpi ingin tinggal di pulau jawa. Alhasil, saya sekrang
bukan hanya tinggal di pulau jawa, bahkan memiliki istri dan anak di sini
kawan, di pulau jawa. Kau tahu Jakarta? Saat kecil, Jakarta itu begitu memesona
kami, anak-anak desa. Alhamdulillah, saya sudah ke Jakarta dan merasa tidak
betah.
Banjir, polusi, kriminl, dan berbagai permasalahan masyaraat perkotaan sudah menumpuk di Jakarta. Saya pun pernah mimpi menjadi seorang penulis dan akhirnya kini telah banyak menulis artikel, membuat blog sendiri, sampai menulis naskah buku. Beberapa karya tulis pun sudah mejeng di media nasional dan dibaca banyak orang di negeri ini. Bertemu dengan para penulis juga tidak ketinggalan, loh. Itu keren banget, kawan.
Banjir, polusi, kriminl, dan berbagai permasalahan masyaraat perkotaan sudah menumpuk di Jakarta. Saya pun pernah mimpi menjadi seorang penulis dan akhirnya kini telah banyak menulis artikel, membuat blog sendiri, sampai menulis naskah buku. Beberapa karya tulis pun sudah mejeng di media nasional dan dibaca banyak orang di negeri ini. Bertemu dengan para penulis juga tidak ketinggalan, loh. Itu keren banget, kawan.
Setinggi
apapun cita-cita itu, sebenarnya saya pernah punya cita-cita sederhana seperti
hidup sederhana sekalipun mampu menggapainya. Kau tahu apa itu, kawan? Saya
tidak nyaman tidur di atas kasur empuk, rasanya cukup mengganggu. Akhirnya,
saya meminta istri agar tidka perlu membeli dan menggunakan kasur empuk.
Alhamdulillah, itu pun kami ajarkan kepada anak tercinta. Kau tahu kenapa? Ya,
hanya berupaya mengikuti kesederhanaan Rasulullah. Banyak orang mungkin tidak
menerima itu, namun di sanalah kebahagiaan itu kami rahasiakan :-)
Bicara
soal cita-cita, sepertinya tidak ada ujung pangkalnya. Jadi, ada baiknya kau
terjemahkan mimpimu melalui upaya. Maksimalkan itu. Mungkin ada mimpi yang
belum kau gapai. Berusahalah. Mungkin bila kau lebih gigih, hasil terbaik tinggal
menghitung hari. Ya, begitu barangkali.
Apa
cita-cita masa kecilmu, kawan?
0 Komentar:
Post a Comment