“Pendidik diidentikkan dengan guru,
mempunyai makna ‘digugu dan ditiru’ artinya mereka menjadi contoh dan panutan.”
Keberhasilan
pelajar di sekolah tidak hanya ditentukan oleh antusiasme belajar yang tinggi.
Banyak penopang hal itu mewujud menjadi prestasi gemilang. Tidak banyak orang
menyadari bahwa keberhasilan, alias prestasi yang digapai oleh pelajar-pelajar
kita sesungguhnya bukan murni hasil jerih payah si pembelajar sendiri. Ada
peran penting para guru di sana, di samping peran signifikan dari para orang
tua.
Menelaah
hal tersebut, maka kita perlu bercermin, bahwa mencetak pelajar yang hebat
dimulai dengan mencetak guru yang hebat. Ini bukan soal cetakan dari kampus A
atau kampus B, bukan pula soal guru tersertifikasi atau belum tersertifikasi.
Yang pasti, guru hebat melahirkan pelajar yang hebat (semestinya demikian),
sebaliknya pelajar hebat karena didikan dan teladan dari guru-guru yang hebat.
Entah, dari sumber mana pun guru itu “dilahirkan”.
Pertanyaan
saya sederhana, sebagai seorang guru, sudahkah memiliki kompetensi yang masuk
kategori “hebat” itu? Menjawab pertanyaan ini juga cukup sederhana. Coba kita
cermati, seberapa antusias siswa-siswi mengikuti mata pelajaran yang diampu?
Atau cermati, seberapa senang siswa berlama-lama mendengar dan menyimak
“ceramah-ceramah” di dalam kelas? Dua pertanyaan argumentasi ini setidaknya
bisa menjawab kompetensi diri sebagai seorang pengajar dan pendidik di hati
siswa.
Kesalahan
fatal seorang guru bertumpu pada “pemaksaan” kepada siswa untuk bisa menjadi
unggul namun tidak dibarengi dengan motivasi dan keteladanan yang nyata dari
sosok pribadi sang guru. Nah, sebut saja pribahasa klasik “Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari”. Ini bukan soal kencing mengencingi. Guru itu
teladan. Guru itu orang tua. Contoh nyata bagi siswa. Prestasi siswa itu lahir
karena prestasi sang guru. Nah, kalau gurunya tidak hebat, bagaimana siswanya
bisa hebat?
Gagasan
sentral tulisan ini sesungguhnya ingin menyuguhkan secuil ide bagaimana menjadi
guru yang hebat. Hebat, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) berarti terlampau, amat sangat (dahsyat,
ramai, kuat, seru, bagus, menakutkan, dan sebagainya). Namun, karena kita
bicara tentang guru yang hebat, maka sejumlah defenisi itu perlu kita
sinkronkan dengan “kehebatan” sosok guru. Maka mewujudlah satu eksposisi
tentang pengertian bahwa guru yang hebat adalah guru yang memiliki kompetensi
(sesuai bidangnya) yang dapat memberdayakan para pelajar yang dididik dan
diajarinya.
Kompetensi
sendiri bermakna global. Tanpa memilah-milih kompetensi seperti apa yang
dimaksud, kompetensi seorang guru bertalian dengan kompetensi intelektual
(dengan berbagai bidangnya), emosional, dan spiritual. Ketiga hal ini penting
mengingat kompetensi intelektual sendiri telah nyata tidak banyak melahirkan pelajar
yang bermoral. Berpretasi akademik di sekolah belum tentu berprestasi secara
sosial di masyarakat.
Secara
spesifik, guru hebat memiliki karakter berikut ini:
- Kompeten di bidangnya
- Kreatif menyuguhkan materi pembelajaran di kelas
- Antusias alias bersemangat melakukan trasfer ilmu
- Kepedulian yang tinggi terhadap hambatan belajar siswa
- Menjadi sahabat para siswa bahkan kawan curhat
- Stimulus respon yang positif untuk membangkitkan gairah belajar
- Teladan dalam prestasi (bersifat akademik dan non-akademik)
- Ikhlas dan bertepa selira terhadap “kekurangan” siswa dengan berpegang pada falsafal “tidak ada siswa yang bodoh”
Poin-poin
di atas tentunya bukan merupakan hal mutlak yang patut dijadikan “catatan
sakral” menjadi guru yang hebat. Setiap kepala (para guru) memiliki cakrawala
berpikir kreatif bagaimana menjadi guru berkarakter hebat. Bergantung bagaimana
seorang guru memiliki kesadaran menjadi sosok yang tidak biasa-biasa saja di
mata dan hati para siswanya. Saya pun masih belajar dan berusaha mengamalkan
poin-poin yang saya tuliskan di atas.
Saya
kerapkali mencermati bahwa siswa yang ketinggalan dalam banyak mata pelajaran
di kelas sebagai akibat dari pengaruh guru dalam menyajikan “suplemen ilmu” di
kelasnya masing-masing. Hal ini bertalian dengan metode. Barangkali itulah
sebabnya, mengapa ada banyak siswa sangat senang belajar satu mata pelajaran
dan sangat “takut” mengikuti mata pelajaran yang lain. Nah, kalau sejak awal di
kelas guru tidak memiliki tempat di hati siswa, akan sangat sulit membongkar mental block tentang sulitnya sebuah
mata pelajaran.
Merujuk
kembali judul tulisan ini, Guru Hebat,
Pelajar Hebat. Tentu hal ini bukan persoalan sederhana namun sangat penting
untuk dikaji dan dipelajari.
Bila mengingat masa sekolah dulu, saya
memiliki kesulitan belajar dalam mata pelajaran Bahasa Inggris saat duduk di
kelas satu SMA. Bukan karena gurunya yang bodoh, namun saya mengalami kesulitan
dalam menikmati setiap teori yang diajarkan di kelas. Menginjak kelas dua, pun
kesulitan yang sama saya rasakan. Hal yang berbeda ketika saya duduk di kelas
akhir, kelas tiga. Saya lebih menikmati pelajaran bahasa Inggris dibandingkan
saat saya duduk di kelas satu dan dua. Hasilnya tentu berbeda karena metode
guru yang berbeda.
Pertanyaan
yang menggelitik saya, mengapa hal itu bisa terjadi? Hmmm, ternyata metode guru
dalam menyuguhkan pembelajaran itulah penyebab utamanya. Bagaimana mungkin
siswa bisa menikmati materi pelajaran kalau guru hanya berperan mengarahkan
untuk membaca dan menjawab soal. Sementara tuntutan pendidikan bukan sekadar
memahami teori-teori dengan baik, namun lebih kepada bagaimana bisa
mengimplementasikan ilmu yang diajarkan itu. Aktualisasi diri. Nah, hal itu
sangat dipengaruhi oleh kompetensi guru dalam meramu pembelajaran yang menarik,
tidak membosankan, dan tidak terkesan sulit.
Contoh
kasus yang lebih sederhana. Guru bahasa mengajarkan siswa tentang mengarang
namun harus dengan struktur baku sesuai Ejaaan yang Disempurnakan. Salah
tatabahasa atau diksi berarti nilainya kurang. Weleh-weleh, bagaimana bisa mencetak penulis kalau pemula saja
diajarkan harus langsung profesional. Itulah, itulah kendala pendidikan di
negeri ini. Kita dituntut profesional hanya pada teori dan materi, tidak
terfokus pada kompetensi dan aktualisasi diri.
Sepukat? Eh, sepakat?