"Setiap orang memiliki bakat, namun jarang bakat itu disertai keberanian untuk mengeksplorasinya semaksimal mungkin.” _Erica Jong
  
Di sekolah kehidupan (meminjam istilah Andrias Harefa), bagi banyak orang, termasuk para guru, menulis merupakan pekerjaan tangan yang sangat sulit dilakukan. Keinginan menelurkan karya merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa setiap orang, umumnya kalangan yang memahami arti pentingnya ilmu pengetahuan, ingin menciptakan karyanya sendiri. Entah bagi pemenuhan dahaga intelektualnya atau untuk sekadar tampil sebagai orang yang agar tidak disebut manusia mubadzir dari kampus-kampus almamaternya.

Produktvitas menulis, seperti juga pisau yang bila tidak sering diasah akan tumpul. Tentu saja dengan membiasakan diri berkarya akan semakin menajamkan pisau pena yang ada di kepala sehingga buah-buah yang bersumber dari ide-ide cemerlang bisa dipetik oleh penggagasnya. Hal sebaliknya bisa terjadi bilamana pisau yang kita miliki tidak pernah atau jarang diasah menyebabkan kemandegan berkarya yang kronis.

Bicara tentang menulis dan produktivitasnya, walau tidak pernah mendapat pengakuan sebagai guru produktif dalam menulis setidaknya kita bisa lihat antusiasme menulis yang ditularkan oleh sosok guru bernama Agus Hermawan. Tak dapat dipungkiri bahwa menulis bisa membawa seseorang pada “kedudukan” di luar jangkauan berpikirnya. Apatah lagi bila si penulis tak pernah menduga bahwa masyarakat akan menerima ide-idenya melalui tulisan yang dibuatnya.

Agus Hermawan, satu dari sekian banyak guru di Indonesia mencoba merangsang kita untuk berkarya. Dalam pengertian, siapapun bisa menembus batas kebuntuan ide untuk menciptakan karya-karya sederhana dari pengalaman hidup sehari-hari tanpa merasa sangat sibuk sehingga mudah berdalih tidak punya waktu apalagi tidak punya gagasan untuk diterjemahkan dalam buah pena. Pikiran kolot demikian bisa jadi hambatan untuk bisa menunjukkan eksistensi diri dalam berkarya.

Untuk menembus batas kebuntuan ide dalam menuliskan gagasan yang bersarang di kepala, saya mencoba mencari tahu kepada beliau melalui perbincangan-perbincangan santai saat bertandang ke rumahnya beberapa waktu yang lalu. Saya penasaran dan ingin segera mengetahui resep cespleng menulis buku langsung dari orangnya. Tanpa maksud meninggikan nama beliau melalui tulisan, setidaknya bisa menjadi bahan pembelajaran bagi guru-guru atau pun masyarakat yang ingin belajar menulis.

Saya cukup kaget, sewaktu perbincangan pagi hari di rumah beliau, saya disuguhi tumpukan naskah yang sudah di-print. Di atas meja ada sekitar empat naskah tebal yang konon ditulis di waktu-waktu senggang. Melihat sepintas naskah yang tebal membuat saya terkesima, bahkan mungkin bagi banyak orang adalah hal yang luar biasa. Siapa sangka, tulisan yang ada dalam naskah tersebut merupakan buah pikiran dari pengalamannya sehari-hari. Beberapa gagasan ada juga yang dipetik dari sumber-sumber buku yang pernah beliau baca. Saya jadi berpikir, naskah buku yang tidak bisa dianggap sederhana seperti itu tidak mungkin bisa ditulis oleh banyak orang. Apalagi bagi orang yang minderan dalam berkarya.

Isi tulisannya nyentrik, mengalir, semangat berkaryanya luar biasa. Membacanya seolah merangsang untuk bangkit berkarya. Andai saja orang-orang yang memiliki gelar pendidikan tinggi membacanya, ia tidak akan habis-habisnya mencaci maki kualitas tulisan dari segi tata bahasa atau kebakuan Ejaan Yang Disempurkan dalam naskah tersebut. Padahal, naskah-naskah yang menumpuk itu dilahirkan bukan karena mengikuti kebakuan bahasa oleh semangat dan antusiasme berkarya, kegigihan untuk menularkan kebaikan, memberi.

Menyoal kualitas tulisan, banyak orang menyangka bahwa tulisan yang baik dan hebat itu adalah tulisan yang tata tertib bahasanya sesuai kamus lembaga formal. Padahal, yang disebut menulis, apalagi menulis bagi pemula bagi saya tidak pernah dan semestinya tidak perlu menggunakan rumus bagus atau tidaknya karya yang dihasilkan. Yang paling penting adalah keberanian untuk berkarya, menuliskan sebanyak mungkin gagasan yang kita miliki. Bagaimana mungkin seseorang bisa hebat bila tidak dimulai dengan keberanian mencoba.

Telah lama saya “terkubur” oleh bayang-bayang takut berkarya karena kualitas tulisan saya sangat buruk. Namun, membaca dan menggali ilmu dalam naskah-naskah yang menumpuk di rumah Pak Agus membuat saya sadar. Mematok diri tidak kompeten adalah kesalahan yang fatal. Oleh karena itu, saya tertantang untuk lebih gigih berkarya, walau tulisan bungkusan kacang sekalipun.

Menantang diri, ketika Pak Agus meninggalkan saya sendiri di rumah beliau sekitar tiga jam, saya mencoba merangkai satu artikel sederhana untuk kemudian saya meminta agar beliau menagih saya saat pulang nanti. Hasilnya? Oh, ternyata dengan menantang diri, dengan pemaksaan diri yang sedikit njlimet saya bisa menuntaskan tiga halaman artikel sederhana hingga beliau kembali. Suatu hal yang baru bagi saya. Saya jadi tahu, ternyata kreativitas menulis itu bisa juga dimulai dengan menantang diri sendiri.

Dari pertemuan singkat dengan Pak Agus, saya jadi banyak ide dan semakin “terangsang” untuk bercumbu dengan gagasan-gagasan yang selama ini “menganggur” di kepala saya. Saya butuh banyak belajar. 

Dari persahabatan dengan sosok Agus Hermawan yang seorang guru Kimia di salah satu sekolah negeri di Kota Bandung itulah saya banyak kecipratan jurus sakti menulis. Bahkan karena keranjingan menulis beliau bisa berbagi ilmu melalui buku-buku yang telah ditulisnya; (1) Agar Otak tidak Beku Ajaklah Berselancar, (2) Belajar dari (Model) Kehidupan, (3) Jangan Caci Maki Kegelapan Nyalakanlah sebatang Lilin, (4) Menjadi Guru Cerdas dan Menginspirasi, dan (5) Agar Guru Mau dan Mampu Menulis (Buku). Luar biasa.

Agus Hermawan di mata saya adalah sosok guru yang patut diacungi jempol. Guru yang banyak menginspirasi, suka menulis walau usia beliau tidak bisa dibilang muda lagi, namun semangat mudanya menunjukkan eksistensinya sebagai guru yang produktif. Prototipe guru yang patut jadi teladan bagi guru-guru yang banyak ilmu namun mandul berkarya. Dengan pemaksaan diri, krativitas berkarya bisa dimunculkan. Mungkin itulah resepnya.

Sebagai penutup, kata-kata bijak dari James Allen semoga dapat menjadi bahan renungan. “Semua urusan manusia melibatkan usaha dan hasil. Kegigihan dalam berusaha adalah ukuran untuk meraih hasil itu.” Agus Hermawan telah membuktikannya.

Semangat, dan tetaplah berkarya!

Categories:
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!