"Setiap orang memiliki
bakat, namun jarang bakat itu disertai keberanian untuk mengeksplorasinya
semaksimal mungkin.” _Erica Jong
Bicara tentang menulis
dan produktivitasnya, walau tidak pernah mendapat pengakuan sebagai guru produktif
dalam menulis setidaknya kita bisa lihat antusiasme menulis yang ditularkan
oleh sosok guru bernama Agus Hermawan. Tak dapat dipungkiri bahwa menulis bisa
membawa seseorang pada “kedudukan” di luar jangkauan berpikirnya. Apatah lagi
bila si penulis tak pernah menduga bahwa masyarakat akan menerima ide-idenya
melalui tulisan yang dibuatnya.
Agus Hermawan, satu
dari sekian banyak guru di Indonesia mencoba merangsang kita untuk berkarya.
Dalam pengertian, siapapun bisa menembus batas kebuntuan ide untuk menciptakan
karya-karya sederhana dari pengalaman hidup sehari-hari tanpa merasa sangat
sibuk sehingga mudah berdalih tidak punya waktu apalagi tidak punya gagasan
untuk diterjemahkan dalam buah pena. Pikiran kolot demikian bisa jadi hambatan
untuk bisa menunjukkan eksistensi diri dalam berkarya.
Untuk menembus batas
kebuntuan ide dalam menuliskan gagasan yang bersarang di kepala, saya mencoba
mencari tahu kepada beliau melalui perbincangan-perbincangan santai saat
bertandang ke rumahnya beberapa waktu yang lalu. Saya penasaran dan ingin
segera mengetahui resep cespleng menulis buku langsung dari orangnya. Tanpa
maksud meninggikan nama beliau melalui tulisan, setidaknya bisa menjadi bahan
pembelajaran bagi guru-guru atau pun masyarakat yang ingin belajar menulis.
Saya cukup kaget, sewaktu
perbincangan pagi hari di rumah beliau, saya disuguhi tumpukan naskah yang
sudah di-print. Di atas meja ada
sekitar empat naskah tebal yang konon ditulis di waktu-waktu senggang. Melihat
sepintas naskah yang tebal membuat saya terkesima, bahkan mungkin bagi banyak
orang adalah hal yang luar biasa. Siapa sangka, tulisan yang ada dalam naskah
tersebut merupakan buah pikiran dari pengalamannya sehari-hari. Beberapa
gagasan ada juga yang dipetik dari sumber-sumber buku yang pernah beliau baca.
Saya jadi berpikir, naskah buku yang tidak bisa dianggap sederhana seperti itu
tidak mungkin bisa ditulis oleh banyak orang. Apalagi bagi orang yang minderan dalam berkarya.
Isi tulisannya nyentrik, mengalir, semangat berkaryanya
luar biasa. Membacanya seolah merangsang untuk bangkit berkarya. Andai saja
orang-orang yang memiliki gelar pendidikan tinggi membacanya, ia tidak akan
habis-habisnya mencaci maki kualitas tulisan dari segi tata bahasa atau kebakuan
Ejaan Yang Disempurkan dalam naskah tersebut. Padahal, naskah-naskah yang
menumpuk itu dilahirkan bukan karena mengikuti kebakuan bahasa oleh semangat
dan antusiasme berkarya, kegigihan untuk menularkan kebaikan, memberi.
Menyoal kualitas
tulisan, banyak orang menyangka bahwa tulisan yang baik dan hebat itu adalah
tulisan yang tata tertib bahasanya sesuai kamus lembaga formal. Padahal, yang
disebut menulis, apalagi menulis bagi pemula bagi saya tidak pernah dan semestinya
tidak perlu menggunakan rumus bagus atau tidaknya karya yang dihasilkan. Yang
paling penting adalah keberanian untuk berkarya, menuliskan sebanyak mungkin
gagasan yang kita miliki. Bagaimana mungkin seseorang bisa hebat bila tidak
dimulai dengan keberanian mencoba.
Telah lama saya
“terkubur” oleh bayang-bayang takut berkarya karena kualitas tulisan saya
sangat buruk. Namun, membaca dan menggali ilmu dalam naskah-naskah yang
menumpuk di rumah Pak Agus membuat saya sadar. Mematok diri tidak kompeten adalah
kesalahan yang fatal. Oleh karena itu, saya tertantang untuk lebih gigih
berkarya, walau tulisan bungkusan kacang sekalipun.
Menantang diri, ketika
Pak Agus meninggalkan saya sendiri di rumah beliau sekitar tiga jam, saya
mencoba merangkai satu artikel sederhana untuk kemudian saya meminta agar
beliau menagih saya saat pulang nanti. Hasilnya? Oh, ternyata dengan menantang
diri, dengan pemaksaan diri yang sedikit njlimet
saya bisa menuntaskan tiga halaman artikel sederhana hingga beliau kembali. Suatu
hal yang baru bagi saya. Saya jadi tahu, ternyata kreativitas menulis itu bisa
juga dimulai dengan menantang diri sendiri.
Dari pertemuan singkat
dengan Pak Agus, saya jadi banyak ide dan semakin “terangsang” untuk bercumbu
dengan gagasan-gagasan yang selama ini “menganggur” di kepala saya. Saya butuh banyak
belajar.
Dari persahabatan
dengan sosok Agus Hermawan yang seorang guru Kimia di salah satu sekolah negeri
di Kota Bandung itulah saya banyak kecipratan jurus sakti menulis. Bahkan
karena keranjingan menulis beliau bisa berbagi ilmu melalui buku-buku yang
telah ditulisnya; (1) Agar Otak tidak Beku Ajaklah Berselancar, (2) Belajar
dari (Model) Kehidupan, (3) Jangan Caci Maki Kegelapan Nyalakanlah sebatang
Lilin, (4) Menjadi Guru Cerdas dan Menginspirasi, dan (5) Agar Guru Mau dan
Mampu Menulis (Buku). Luar biasa.
Agus Hermawan di mata
saya adalah sosok guru yang patut diacungi jempol. Guru yang banyak
menginspirasi, suka menulis walau usia beliau tidak bisa dibilang muda lagi,
namun semangat mudanya menunjukkan eksistensinya sebagai guru yang produktif.
Prototipe guru yang patut jadi teladan bagi guru-guru yang banyak ilmu namun
mandul berkarya. Dengan pemaksaan diri, krativitas berkarya bisa dimunculkan.
Mungkin itulah resepnya.
Sebagai penutup, kata-kata bijak dari James Allen semoga dapat menjadi bahan renungan.
“Semua urusan manusia melibatkan usaha dan hasil. Kegigihan dalam berusaha
adalah ukuran untuk meraih hasil itu.” Agus Hermawan telah membuktikannya.
Semangat, dan tetaplah
berkarya!