Rasanya, saya ingin menumpahkan semua uneg-uneg saya tentang sahabat. Saya sangat senang memiliki sahabat. Bahkan kalau bisa, saya ingin menkadikan setiap orang yang saya temui sebagai sahabat sejati saya.

Saya memiliki banyak kawan, namun tidak semua kawan itu sahabat. Bagi saya, sahabat lebih dari seorang kawan, bahkan kadang lebih akrab dari saudara. Mungkin Anda, dan orang-orang yang punya sahabat merasakan itu. Ada banyak perbedaan; baik rasa maupun semangat ketika bertemu sahabat, amat berbeda bila bertemu kawan biasa.
Sejumlah sahabat memiliki perangai berbeda. Pada perangai itulah tertanam karakter yang beragam pula. Perangai dan karakter apa bedanya? Ah, bukan di sini tempat menjelaskannya. Saya ingin mengurai tentang sahabat bukan tentang bahasa :-)
Apa yang menarik dari seorang sahabat? Banyak, kawan. Banyak hal yang kadang sulit diterjemahkan dengan melakoni setiap kisah kehidupan bersama sahabat. Kata-kata, kadang tidak cukup ditumpahkan dalam buku catatan harian. Banyak kisah bersama sahabat, dari kisah pilu sampai kisah lebay. Kau pernah mengalaminya? Kau semestinya memiliki sahabat agar kau merasakan kisah hidup yang “lebih seru”, tentunya. Sahabat itu, ah, gimana gitu :-)
Sosok sahabat yang begitu berkesan dari pengalaman hidup saya, sebut saja si A. Usianya menginjak kepala empat, namun keramahannya sering membuat betah ketika ngobrol. Sahabat yang satu ini sangat tawadhu. Perangainya santun dan selalu menghargai orang lain, baik tua atau muda. Mencari-cari aib orang bukanlah sifatnya. Ya, jelas berbeda dengan orang kebanyakan yang gemar menggunjing orang lain. Pernah, suatu waktu di musallah, sahabat ini memimpin salat jamaah. Apa yang terjadi saudara-saudara? Beliau yang juga suka menghapalkan Alquran ini menangis tersedu ketika membaca Alquran dalam salatnya. Itu tentu bukan hal biasa bagi banyak imam salat di luar sana. Juga tidak biasa bagi saya.
Sosok sahabat yang “tua” di atas idealnya menjadi contoh bagi banyak kawan yang baik. Akhlaknya selalu menjadi teladan dalam kehidupan. Kehadirannya selalu dirindukan :-) yang paling berkesan ketika belaiu membantu orang tanpa tanda tanya. Maksudnya tanpa pamrih, begitu. Nah, semoga Anda juga memiliki sahabat sejati seperti itu, amin.
Ada sosok sahabat lain. Mungkin tidak sebaik dari yang pertama tadi. Namun, patut juga menjadi contoh pada beberapa karakternya yang baik. Perlu menjadi catatan, setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruknya, bukan? Nah, ada baiknya kita ungkap yang baik saja agar tidak menjadi gibah bagi pembaca tulisan ini.
Sahabat ini, sebut saja si B, usianya masih muda. Terbilang lebih muda dari saya. Ya, kepala dua, alias dua puluhan. Karakternya memang “keras” dalam pengertian gigih dalam memperjuangkan keinginannya. Apa yang dimimpikan harus digapai, baik dalam rentang waktu dekat atau pun lama. Sosok sahabat ini selalu tampil ceria di hadapan kawan-kawannya. Mudah bergaul dan open mind kepada siapa saja, khususnya kepada orang yang baru ditemuinya.
 

Hal paling berkesan, ketika sahabat ini jatuh sakit. Menurut petuah, ketika seseorang sakit, hendaklah kita menjenguknya agar terjalin ikatan persaudaraan yang lebih kuat. Begitu barangkali. Mungkin Anda pernah sakit. Ketika dijenguk oleh teman, bagimana perasaan Anda? Rasanya ada kebahagiaan dalam jiwa. Terbersit rasa ada yang memerhatikan, ada orang yang peduli di tengah banyaknya orang yang cuek bebek. Momen seperti itulah yang sering memunculkan kesan yang kuat agar rasa kasih dan rasa sayang lebih membekas. 

Setelah kunjungan itu, dan Anda jadi sehat kembali, maka terjalinlah persahabatan yang lebih erat. Begitulah, saya mengalaminya :-)
Sulit menggambarkan kebaikan sahabat yang satu ini, namun demikianlah adanya. Setiap kebaikan akan mendatangkan kebaikan yang lain, baik dihargai atau dilupakan. Menjadi pribadi yang baik sangat penting dan dibutuhkan dalam menjalin persahabatan. Dari baiknya akhlak itu, pergaulan akan lebih menyenangkan. Oh, indahnya persahabatan dengan orang-orang yang baik. Semoga sahabat Anda demikian adanya.
Kisah persahabtan dengan sosok si B ini menjadikan saya dengan dia seperti saudara. Kawan-kawan mengatakan, kami seperti adik dan kakak :-) bila itu positif, diterima saja. Kau tahu kawan, berbagi makanan sudah biasa bagi kami. Ketika sakit saling menjenguk. Ketika butuh pertolongan saling membantu. Ketika tidak hadir dalm suatu lawatan, saling mencari. Kehadirannya selalu dirindukan. Mungkin demikian ikatan kuat persahabtan itu saya rasakan. Semoga sahabat seperti ini semakin banyak, amin.
Banyak sahabat lain yang tidak bisa saya dekripsikan dalam catatan kecil ini. Bagi saya, mereka adalah orang-orang biasa yang luar biasa sebab mereka selalu hadir ketika dibutuhkan, dan sering menjadi penguat ketika sedang “galau” tingkat tinggi.
Temukanlah sahabat terbaikmu! Setiap manusia idealnya dapat menjadi sahabat terbaik. Tempatkan diri sebagai orang yang terbuka dalam menerima kritik. Tetaplah santun dalam bernasihat. Tetaplah sabar dalam menerima kekurangan sahabatmu. Doakan mereka yang mungkin sering khilaf menyakiti perasaanmu. Begitulah.
Sahabat bagi saya, kawan terbaik menuju surga. Sahabat itu dapat menjadi wasilah agar kita meraih surga, insya- Allah. Sahabat itu, everything J Mengapa? Ya, kau tahu kawan, rasulullah pun memiliki banyak sahabat terbaik dalam kehidupan belaiu, dan sahabat terbaik beliau adalah Abu Bakar RA.
Temukanlah sahabat terbaikmu! 

Salam sahabat :-)
Kau tahu kawan, di masa kecil, hidup saya bergantung pada pertanian sebab dalam hal perut dan kebutuhan primer lainnya, orang tua saya bekerja sebagai petani. Hidup di sebuah desa yang jauh dari polusi begitu membahagiakan, dan tentu saja sehat. Kau merasakannya, kawan? 

Hmmm, hidup tanpa polusi itu sesuatu yang langka di negeri ini. Apalagi di kota Jakarta yang tingkat polusinya sangat mendunia.
Sejak kecil, saya tidak punya cita-cita yang pasti. Maklum. Saya hidup dengan latar belakang keluarga yang hampir semua bekerja sebagai petani. Hidup di lingkungan para petani membuat saya tidak memiliki cita-cita besar seperti anak-anak yang tinggal di perkotaan. Bagi saya, hidup menjadi seorang petani pun sudah menjadi hal yang tabu. 
 
Ya, itu bukan rahasia. Saya, kawan bermain, dan orang-orang yang ada di kampung, rasa-rasanya sudah terbiasa hidup dan bergelut dengan lumpur dan teriknya matahari. Begitulah. Mungkin itu alasan yang tepat sehingga memiliki cita-cita yang tinggi bukan lagi primadona.
Bagi orang desa seperti saya, menjadi petani sudah jadi biasa. Kalau ada yang sukses jadi polisi, itu sudah keberhasilan yang patut dibanggakan. Tidak jarang terdengar samar-samar bisikan tetangga, mereka yang biasanya lolos jadi polisi karena sogokan puluhan juta. Entahlah. Namun, sepertinya itu bukan lagi rahasia. Pernah juga terngiang di telinga, ketika kakak saya ingin agar saya jadi polisi di salah satu daerah di Kota Ternate, Maluku. Katanya ada kenalan di sana. Ya ela, kalau nyogok saya tidak mungkin mau. Kalaupun mau, mending cari profesi lain.
Kau tahu kawan, sebagai anak bangsa yang juga ingin menikmati keberhasilan, saya sangat ingin menjadi guru. Kata guru agama di sekolah dulu, guru itu banyak pahalanya. Bahkan disebut-sebut pahalanya mengalir sampai mati nanti. Hebat, bukan? :-)
Menjadi guru? Itu bukan lagi mimpi kawan, sebab saya sudah menggapainya. Namun, rasa-rasanya belum benar-benar total menggelutinya. Kau tahu kenapa, kawan? Aha, saya akhirnya tahu dan sadar bahwa menjadi guru itu memang asyik tapi lebih asyik kalau tidak jadi guru :-) 

Lebih dari empat tahun mengajar membuat saya punya pilihan profesi lain. Saya merenung tingkat tinggi sampai tahu betul saya cocoknya menggeluti profesi yang tepat dan sesuai dengan passion saya. “Jadi, kau mau berhenti mengajar dan tidak menjadi guru lagi?” Hehehe, bukan begitu kawan. Kau tahu, betapa tersikasanya saya selama empat tahun itu? Tapi sudahlah. Bicara soal pahala, menjadi guru memang yang terbaik, dan saya masih “bisa” menikmatinya.
Saya ingin menjadi guru, penulis, editor, atau apalah namanya yang berkaitan dengan menulis dan buku. Mungkin jurnalis atau wartawan. Entahlah. Yang jelas, bercumbu dengan gagasan, kata=kata, kalimat, dan alinea-demi aline itu punya pesona tersendiri. Mungkin saya telah benar-benar kehilangan arah dan tujuan profesi sebab di perguruan tinggi saya memilih menjadi guru bahkan menyabet predikat wisudawan terbaik di bidang pengajaran itu.
Mengambil jurusan guru dan menjadi guru sebenarnya bukan pilihan “sadar” sebab semua berjalan begitu saja. Yang paling membekas, ketika belajar di sekolah menengah, saya takjub dengan kebaikan seorang guru bahasa. Maka menjadilah saya siswa yang gandrung belajar bahasa, bahkan sastra. 

Sejak perkenalan dengan guru bahasa itu, saya banyak belajar tentang “ambisi”, bagaimana agar sukses dan berhasil meraih mimpi. Saya akhirnya belajar menulis, berpidato, sampai menggeluti dunia sastra dengan menghadiri beberapa seminar sastra. Yang paling berkesan, saya pernah melatih keterampilan berbicara dengan ikut lomba pidato di sekolah dan keluar sebagai juara pertama. Kau tahu kawan, itu kereeeeen :-)
Asal kau tahu kawan, orang-orang desa seperti saya dan banyak lagi anak desa lainnya, mempunyai cita-cita tinggi itu sesungguhnya bukan tuntutan. Namun, keadaanlah yang membuat kami harus berani melawan arus. Menjadi guru, polisi, dokter, hingga pilot, kadang hanya terngiang di telinga tanpa upaya. Kehidupanlah yang mengajari kami, anak-anak desa, untuk berani menggapai apa yang kami mimpikan dan harus diperjuangkan.
Kawan, apa cita-cita masa kecilmu?
Tahukah kau, saya pernah memiliki beberapa mimpi ajaib yang telah saya rangkul. Semua itu atas izin Allah, kawan. Kau tahu apa itu? Hmm, menjadi guru. Ah, kau sudah tahulah. Saya pun pernah punya mimpi menjadi pegawai negeri, dan itu sudah mewujud. Pernah juga mimpi ingin tinggal di pulau jawa. Alhasil, saya sekrang bukan hanya tinggal di pulau jawa, bahkan memiliki istri dan anak di sini kawan, di pulau jawa. Kau tahu Jakarta? Saat kecil, Jakarta itu begitu memesona kami, anak-anak desa. Alhamdulillah, saya sudah ke Jakarta dan merasa tidak betah. 

Banjir, polusi, kriminl, dan berbagai permasalahan masyaraat perkotaan sudah menumpuk di Jakarta. Saya pun pernah mimpi menjadi seorang penulis dan akhirnya kini telah banyak menulis artikel, membuat blog sendiri, sampai menulis naskah buku. Beberapa karya tulis pun sudah mejeng di media nasional dan dibaca banyak orang di negeri ini. Bertemu dengan para penulis juga tidak ketinggalan, loh. Itu keren banget, kawan. 
Setinggi apapun cita-cita itu, sebenarnya saya pernah punya cita-cita sederhana seperti hidup sederhana sekalipun mampu menggapainya. Kau tahu apa itu, kawan? Saya tidak nyaman tidur di atas kasur empuk, rasanya cukup mengganggu. Akhirnya, saya meminta istri agar tidka perlu membeli dan menggunakan kasur empuk. Alhamdulillah, itu pun kami ajarkan kepada anak tercinta. Kau tahu kenapa? Ya, hanya berupaya mengikuti kesederhanaan Rasulullah. Banyak orang mungkin tidak menerima itu, namun di sanalah kebahagiaan itu kami rahasiakan :-)
Bicara soal cita-cita, sepertinya tidak ada ujung pangkalnya. Jadi, ada baiknya kau terjemahkan mimpimu melalui upaya. Maksimalkan itu. Mungkin ada mimpi yang belum kau gapai. Berusahalah. Mungkin bila kau lebih gigih, hasil terbaik tinggal menghitung hari. Ya, begitu barangkali.
Apa cita-cita masa kecilmu, kawan?
Musik, terus terang saya tidak terlalu gandrung dengan musik. Konon, bahkan beberapa penelitian merilis tentang banyaknya manfaat musik bagi kesehatan. Entahlah. Ketika membuka sebuah situs kesehatan, saya menemukan telaah tentang manfaat musik begini, “Musik adalah bagian terpenting dari kesehatan fisik dan emosional bahkan sejak bayi di dalam rahim ibu, mendengarkan detak jantung dan irama pernapasan. Mendengarkan musik favorit akan membuat suasana hati anda semakin membaik selain itu penelitian yang lebih lanjut menemukan adanya hubungan antara mendengarkan musik dengan kesehatan. Bahkan musik dapat meringankan penyakit yang diderita oleh pasien, selanjutnya ditemukan adanya hubungan kesehatan dengan mendengarkan musik.

Saya tidak terlalu memikirkan pendapat para pakar kesehatan yang mengorelasikan kesehatan seseorang dengan kebiasaan mendengarkan musik. Kata orang, tanpa musik hidup itu hampa. Namun, itu tidak saya jadikan sebagai sebuah akidah. Sudah nyata, dewasa ini sangat mudah kita mendengarkan musik, termasuk lagu. Bahkan tanpa disengaja pun, musik dan lagu senantiasa berseliweran di sekitar kita.

Di terminal, orang-orang suka mendengarkan musik. Di angkutan umum, juga angkutan pribadi, musik senantiasa menggema. Di jalan-jalan Ibu kota sampai pelosok negeri, bocah-bocah dan remaja bangsa sangat piawai memainkan musik. Di sekolah hingga perguruan tinggi pun para pengajar mengajar dengan musik. Bahkan ada yang sengaja kursus dan les musik dengan bayaran selangit. Musik sudah jadi bagian dari kehidupan manusia modern, apalagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Tidak jarang, konser musik dibanjiri pendengar dan penikmatnya dengan biaya yang cukup menggigit. Yang pasti, musik hadir dan menyebar seperti virus yang kebal, tidka terbendung.

Anda suka musik, penggemar musik, atau atau pemain musik? Hmmm, itu pilihan sadar. Bagi saya, musik sepertinya tidak memiliki tempat dan ruang khusus dalam keluarga. Alasan yang paling rasional, saya ingin mendidik anak-anak saya menjadi penghapal Alquran. Bahkan jauh hari, sebelum anak saya lahir, saya dan istri telah melakukan rembug agar kelak anak kami menjadi seorang hafidz. Itu akan sangat membanggakan kami sebagai orang tua, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Penghapal Alquran itu sangat keren :-)

Sudah bukan rahasia, anak-anak penghapal Alquran memiliki tempat yang sangat istimewa dalam masyarakat. Tentu itu bukan tujuan sebab yang mulia dari seorang hafidz adalah menghapal dan beramal dengan Alquran untuk mencari wajah Allah, dan itu berarti akan memuliakan mereka yang mendidiknya juga, orang tua. Secara pribadi, saya sering menangis bila melihat anak-anak penghapal Alquran berseliweran di sekitar saya. Entah mengapa, namun itu sangat luar biasa bagi saya. Ada sentuhan yang sangat lembut menembus qalbu ketika mendengar lantunan ayat suci dibacakan oleh para penghapalnya. Mungkin itu yang menggerakkan saya agar kelak memiliki anak-anak qurani.

Satu pengalaman kurang berkesan di suatu hari, ketika saya, istri, anak, dan ibu mertua hendak ke Jakarta dari terminal Slawi, Jawa Tengah. Sudah menjadi kebiasaan, para sopir angkutan menyetel musik dan lagu dengan suara menggelegar dia atas kendaraan mereka. Bahkan tanpa memedulikan para penumpang, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, pasti akan dinikmati. Ketika bus yang kami tumpangi muali bergerak dan melaju, benar saja, musik mulai mendayu-dayu. Saya gelisah, gusar, namun tidak bisa berbuat banyak. Maka, handphone istri yang memuat beberapa aplikasi islami segera saya bunyikan. Menggemalah lantunan ayat suci dari ponsel istri. Saya mendekatkannya ke telinga anak kami yang sedang tertidur pulas. Tujunnya, agar musik tidak mebgusik pikirannya. Suasana seperti itu terus berlangsung sampai ponsel istri lowbat. Saya pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Anda suka musik? Silakan, saya mungkin punya pendapat sendiri mengenai ini sebab saya punya cita-cita berkaitan dengan pertumbuhan anak saya. Saya ingin anak saya tumbuh menjadi penghapal Alquran. Maka saya sangat setuju bila ada yang mengatakan bahwa Alquran dan musik tidak bisa hadir dalam diri seorang muslim secara bersamaan. Mungkin itu sebabnya saya belum pernah menemukan seorang penghapal Alquran yang gandrung dengan musik. 

Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik....” Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
Jangan malu. Menulis harus pede. Harus percaya diri sebab banyak orang bergelar tidak bisa menulis. Banyak orang yang suka bicara tentang tulisan tetapi tidak juga menulis. Jadi, tetaplah optimis dan menulis. Menulis itu mudah. Menulis harus percaya diri.

Bagi sebagian orang, menulis itu mudah, dapat dilakukan kapan saja. Sambil minum teh, ngetik di laptop, tedeeeng, jadilah satu artikel. Penulis “jantan” itu selalu produktif karena tidak dibelenggu perasaan sakit hati pembaca karyanya. Kalau saya, ya... bergantung minat saja sih, kalau sedang kebelet mau menulis, ya menulis. Kalau sedang malas, ya dibiarkan saja tanpa menulis satu kata pun, alias “mandul” sementara. Namun, ada hal aneh pada jiwa seorang penulis pemula, bahkan kadang merasuki jiwa saya sebagai (juga) penulis pemula. Malu. Malu berkarya. Kalau sudah punya karya, malu dibaca orang, malu kalau-kalau karena tulisan yang dibuat jadi bikin orang tertawa atau mencla-mencle karena tulisan tidak berkualitas.
Bicara soal malu bila karya tulis kita dibaca orang, itu sudah jadi penyakit hampir semua penulis yang belum punya “nama”, tidak terkecuali saya. Saya bahkan sudah menulis tumpukan artikel, dari yang sederhana sampai yang serius. Beberapa kali ikut lomba menulis, dari yang sifatnya lokal sampai nasional, eh masih saja tidak pede. Nah, kalau penulis tipe seperti ini kan bisa bahaya masa depannya?
Anda mungkin pernah mengalami hal serupa di atas. Maklumlah, kita sama-sama belajar menulis maka lumrah bila kita malu kalau tulisan kita dibaca orang. Alibi yang paling mendasar adalah perasaan khawatir kalau-kalau tulisan kita dibilang jelek, berantakan, tidak enak dibaca, atau mungkin takut kalau orang lihat judul tulisan kita, langsung dibuang ke tong sampah tanpa berperi kemanusiaan. Walah, itu sangat menyakitkan. Sakitnya tuh di sini... iya di sini :-) halaaah. Penulis kok cengeng bingits yak.
Hey, kamu, ya kamu yang ngaku penulis, biarpun masih kategori penulis kacangan, yang kalau malam masih “ngompol” atau tidur harus diiringi “nina bobo” drakula-drakula kecil, jangan mau kalah. Harus berani unjuk gigi. Mengapa? Sebab tidak semua orang memiliki kemampuan menulis seperti kita. Coba saja tanya kepada orang-orang bersekolah tinggi di sekitar kita, mampukah mereka menulis seperti yang kita lakukan? Mungkin di atas 50 % mengatakan TIDAK. Ya, sebab menulis itu istimewa, Bos. Tidak semua orang bisa. Jadi, bersyukurlah kalau Allah memberikan kemampuan menulis bagi kita. Entah tulisan dan hasilnya sudah baik atau belum, itu persoalan belakang. Kalau kemampuan menulis terus diasah, kedepan tulisan kita akan semakin baik dan semakin dihargai orang. Bukan, begitu?
Nah, menulis itu butuh keberanian. Keberanian untuk menunjukkan karya kita kepada orang lain, pembaca karya-karya kita. Mereka adalah penikmat karya yang kita tulis sampai bela-belain lembur semalaman karena sengaja menyempatkan berkarya untuk mereka. Jadi, sesungguhnya jasa para penulis itu sangat besar sebab mereka menebar ilmu, bahan bacaan bagi orang lain, bahkan kepada mereka yang tidak dikenal. Anda mengalaminya? Semestinya demikian.
Nah, sebagai kesimpulan dari tulisan yang gak jelas ini, menjadi penulis itu memang banyak risikonya. Salah duanya adalah rela meninggalkan hobi sementara untuk membuat bahan bacaan bagi penikmatnya dan rela kehilangan muka di hadapan para pembaca karena kekhawatiran-kekhawatiran yang sudah saya sebutkan di awal.
Kawan, menulis itu susah loh. Jadi, kalau Anda sudah bisa menulis, itu prestasi yang perlu diapresiasi. Soal bagaimana penilaian orang terhadap karya kita bukanlah pertanda “kiamat” bagi semesta alam. Kalau mau jujur, tulisan yang sedikit menggelitik alias buruk pun, pada satu sisi masih ada saja yang mau membacanya. Mereka menikmati tulisan kita, bahkan mungkin memberi penghargaan secara tidak langsung. Kadang mereka mengatakan, tulisan seperti ini kok bisa ditulis dan dibaca orang ya, padahal kan gak bagus –bagus amat? Nah, bukankah itu sudah menjadi tanda bahwa kita lebih baik dari orang yang sekadar menulis satu alinea sederhana pun tidak?
Menulislah. Jangan malu, sebab kalau malu bisa terhambat produktivitas menulis itu. Seburuk apapun tulisan kita, selalu ada orang-orang baik yang berkenan membacanya. Percaya atau tidak, silakan dibuktikan.
Terakhir, terima kasih karena Anda telah membaca tulisan ini sampai tuntas. Kalau mau jujur, sebenarnya saya juga malu kalau-kalau ada pembaca yang menghardik tulisan tidak bermutu ini. Namun akhirnya, saya bisa menuntaskannya hingga Anda pun tuntas membacanya :-)
Koran atau surat kabar pertama di Indonesia tampil pada pertengahan abad ke-18. Itupun diterbitkan oleh Belanda dan berbahasa Belanda. Kalau anda hadir di zaman itu, itu berarti anda semestinya harus bisa berbahasa Belanda untuk bisa membaca koran. 
Koran yang notabene digunakan sebagai media informasi, pertama kali hadir di Indonsia dengan nama Warta Berita yang konon terbit pada tahun 1901. Ngiming-ngiming, eh ngomong-ngomong kalau membahas tuntas tentang korang cukup panjang juga. Persis seperti membaca koran, panjaaaang tulisannya. Membacanya bikit kesemsem, bahkan mungkin bisa kena keram, hehehe.
Saya memiliki pengalaman indah bersama koran, hehehe. Koran itu seperti istri, melihatnya saja sudah membahagiakan, apalagi menikmatinya, eh menikmati korannya maksud saya. Tuh, kan jadi salah tulis. Pada zaman dahulu kala, saya sangat suka membaca koran. Bahkan memaksa diri berlangganan setiap bulan. Kalau membaca lead tulisan pada artikel-artikel di dalamnya, mata saya seperti mendapat suplemen menyehatkan. Hahaha, boong banget  :-)
Saya dan koran punya cerita, cerita tentang kehidupan anak-anak muda yang “gemar” menganggur. Ya kalau mau terus terang, koran itu memberi banyak efek positif dalam hidup saya. Di antaranya, koran media memulung inspirasi, baik untuk tulisan yang ingin saya buat atau sekadar menambah pengetahuan dengan beragam tema dan judul tulisan di dalamnya. Gara-gara koran, saya jadi keranjingan menulis artikel dan akhirnya bisa dimuat dan dibaca orang di koran-koran. Betapa senang dna membahagiakan kala itu.
Dari koran, berbagai informasi seperti lowongan kerja juga bisa saya peroleh. Apatah lagi dahulu itu saya belum bekerja. Maka menjadilah koran sebagai media menelusuri lowongan pekerjaan dari kantor ke kantor, dari perusahaan ke perusahaan, bahkan dari sekolah ke sekolah. Begitulah, nasib pengangguran intelektual seperti saya terkatung-katung di dalam koran. Kasing bingits, hikhikhik. Namun, jangan salah, koran juga sangat berjasa dalam keberlangsungan hidup saya di alam semesta ini. Jadi, jangan salahkan koran :-)
Coba tengok, di jalan-jalan orang sibuk menjual koran, dari penjual dan pedagang kecil di emperan kota hingga warung-warung cabe di pelosok negeri. Koran itu seperti jamur, menjamur di bumi pertiwi. Bahkan mungkin tidak terbendung. Ada yang suka membaca koran, sangat suka sampai “sakit” kalau dalam sehari tidak membaca koran. Ada juga yang biasa-biasa saja, membaca koran atau tidak ya tidak masalah, yang penting masih hidup. Bagi saya, koran itu cukup sebagai pelengkap kehidupan, minimal untuk menelusuri lowongan pekerjaan. Karena koran, saya sempat beberapa kali mendapat undangan wawancara kerja walau semua ditinggalkan. Karena koran pula, saya sempat bersedih hati ketika pertama kali mendaftar pegawai negeri dan dinyatakan tidak lulus di dalam koran. Itu rasanya gimana gitu. Walau akhirnya pada tahun berikutnya, saya pun bisa jadi pegawai negeri, horeee. Taaaaapi, akhirnya resign juga.
Hadirnya koran di tengah-tengah masyarakat setidaknya juga membantu orang-orang untuk bekerja. Banyangkan saudara-saudara, penjual koran tuh banyak sekali di negeri ini. Dari pemuda samapi kakek-kakek. Nah, pernah melihat ornag jual koran tapi sudah tua? Itu mah sering saya dapatkan. Itu orang tua bertanggung jawab namanya. Bandingkan dengan banyak remaja dan pemuda, yang menjual koran pun malu-malu. Remaja dna pemuda kini, kalau jual koran bilangnya gengsi, pas ngamen bilangnya keren. Apa kata dunia?
Anda bisa telusuri koran yang setiap hari terbit. Beragam informasi dapat kita peroleh dengan mudah, bahkan hanya membuaka lembaran demi lembaran dengan harta relatif mudah. Koran itu gundukan ilmu juga, walau tidak setenar Alquran. Rajin membaca koran tapi jangan lupa baca Alquran. Logikanya, menambah pengetahuan harus senantiasa berkorelasi antara akhirat dan dunia. Mengapa? Ya karena banyak yang suka dan gemar membaca koran tapi tak bisa baca Alquran. Itu kan dungu namanya. Gelar akademik tinggi, eh ngeja huruf Hijaiyah tidak bisa. Ke mana saja, Om?
Begitulah, gara-gara koran.
Baca koran jangan lupa baca Alquran. Nyari sumber ilmu dalam koran, jangan lupa ilmu dalam Alquran. Nyari lowongan, ya nyari di koran tidak masalah yang penting jangan lupa minta kepada Allah. Nah, kalau belajar menulis, bisa tuh nyari inspirasi melalui koran, seperti tulisan cerewet ini, hehe. Semua gara-gara koran. Anda suka koran?

Persoalan mengambil ide tulisan darimana sebenarnya bukan lagi hal baru. Ini tidak sampai membuat galau para penulis, apalagi bagi pemula. Bagi saya, salah satu metode yang  sederhana berikut ini mungkin bisa dilakukan untuk menjembatani ide penulisan. Tujuannya, agar memulung ide semakin mudah dan tidak ribet, tentunya.

Memulung objek. Nah, sekarang coba kita ambil satu sampel objek yang ingin kita kembangkan menjadi tulisan utuh. Mungkin seperti artikel sederhana. Bila Anda bingung, saya jelaskan begini, coba lihat objek yang ada di sekitar Anda. Mungkin gelas, piring, sendok dan garpu, atau dapur secara umum bila Anda ada di rumah. Bila itu terlalu sederhana, kita pindah ke luar ruangan. Lihat apa yang ada di sekitar Anda, mungkin halaman, pepohonan, gunung, sawah, rumah tetangga, atau apalah yang menurut Anda menarik. Hmmm, itu masih terlalu sederhana? Kalau begitu pilih satu objek yang ada di hadapan Anda. Kita ambil contoh kertas yang mungkin sering Anda gunakan :-)

Bagaimana cara mengalirkan ide dari objek yang telah kita “pulung” tadi? Sederhana. Nah, agar tidak terlalu rumit, anggap saja kita sedang berbicara dengan atau tentang objek tadi, kertas. Sekarang, coba Anda sebutkan apa yang Anda tahu tentang kertas! Tentunya banyak, bahkan mungkin sangat banyak. Tuliskan apa saja yang Anda tahu tentang kertas seperti Anda sedang membicarakannya. Mungkin asal muasal kertas. Mungkin kegunaan dan manfaat kertas. Mengapa kertas harus ada dalam kehidupan kita. Atau mungkin siapa penemu dan pengguna kertas pertama di dunia. Atau yang lebih unik bila kertas tadi kita anggap sebagai makhluk yang “hidup”. Nah, bisa lebih “klenik” tulisan yang bisa dibuat.

Sebagai contoh, saya akan menulis apa yang saya tahu tentang kertas. Anggap saja ini sebagai latihan agar tidak terkesan menggurui. Maklum, saya juga masih belajar menulis, belum semahir penulis yang sudah profesional.

Kertas adalah salah satu benda kecil yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Sebagai benda yang gampang sobek, kertas memilihi peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lah, maksudnya? Ya, kertas mencerdaskan kehidupan bangsa sebab kertas bisa menjadi buku, bahan bacaan bagi para pelajar di sekolah hingga mahasiswa di kampus. Benar, bukan? Buku-buku yang kita baca setiap hari, semua kumpulan kertas yang disusun rapi menjadi literatur. Wah, besar sekali peranan kertas.

Bagi kalangan akademik, buku yang notabene terbuat dari kertas fungsinya sebagai literatur, baik untuk kajian-kajian ilmiah, maupun sebagai bacaan pengisi waktu. Lain halnya fungsi kertas di tangan para pedagang pasar. Nah, Anda bisa tebak apa fungsi kertas dalam perdagangan? Yap, betul. Kertas di tangan pedagang, apalagi dagang cade, tomat, dan bawang gunanya untuk bungkusan, hehehe.

Itu hal ringan mengenai kertas. Sekarang, mari kita telaan kertas dari aspek sejarahnya. Kapan pertama kali kertas digunakan di dunia? Siapa penemu benda ringan ini? Bagaimana kertas menjelma menjadi buku-buku dan literatur? Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya memberi gambaran kepada bahwa kertas bukanlah benda sederhana seperti wujud yang kita saksikan dewasa ini. Bicara tentang sejarah kertas, maka kita bicara tentang asal muasalnya. Wah, panjang sekali kalau kita mau utarakan di sini. Hmmm... itu sebagai alibi saja sebab saya secara pribadi tidak tahu sejarah kertas. Mungkin harus nyontek di google J sebelum menuliskannya.

Nah, begitulah sederhananya cara mengembangkan ide menjadi tulisan. Ambil satu objek kemudian kembangkan. Tulisalah tentang objek itu, apa saja yang kita ketahui, entah baik, entah buruk. Selama tidak mengangganggu keberlangsungan hidup umat manusia, lanjutkan tulis sampai tuntas. Mungkin itu cukup sederhana namun cukup membantu siapapun yang ingin belajar menulis. Belajar menulis itu dimulai dari hal sederhana. Jadi, setelah membaca tulisan ini, setidaknya Anda sudah bisa menyiasati kebuntuan ide. Atau mungkin Anda sudah tahu cara praktis mengembangkan ide. Kalau masih belum bisa, wah itu sangat keterlaluan. Intinya, cobalah terlebih dahulu.

Kita kembali ke judul tulisan ini, memulung dan mengembangkan ide. Ide tulisan sesungguhnya tidak pernah habis. Semua tersedia di sekitar kita, di mana pun kita berada, baik di tempat tertutup apalagi di tempat terbuka. Di darat, laut, dan udara, semua itu bahan tulisna yang bisa diramu menjadi artikel “cantik dan menggigit”. Apa yang kita lihat, yang kita rasakan, bahkan mungkin hal-hal yang hadir dalam mimpi seseorang bisa juga menjadi tulisan yang unik. Jadi, sangat tidak masuk akal kalau dikatakan ide tulisan itu sulit ditemukan. Nah, mungkin persoalan mengembangkannya itu yang sedikit bermasalah. Memecah kebuntuan dalam hal ini, kita butuh banyak berlatih menulis, dari hal-hal sederhana saja. Kelak, bila sudah terlatih, ide sekecil apapun akan mudah dikembangkan menjadi tulisan “berkelas”. Silakan dibuktikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Bila ada kekeliruan dalam hal gagasan di sini, itu persoalan sudut pandang saja sebab setiap penulis memiliki passion menulisnya sendiri. Anda setuju, silakan diambil, dipraktikkan. Anda tidak setuju, abaikan saja. Saya tidak akan rugi apalagi merasa dirugikan. Tugas saya adalah berbagi pengalaman, cukup itu. Bila orang yang membaca tulisan ini mendapat pencerahan, itu sudah jadi satu keberhasilan dalam kerja tangan dan pikiran saya. 

Begitu :-) Selamat mencoba dan tetaplah menuliskan karyamu bagaimanapun hasilnya. Setiap orang membutuhkan proses untuk melampaui apa yang diimpikannya, termasuk juga dalam hal menulis. Jadi, menulislah!


Judul ini mungkin begitu sederhana. Sesederhana isinya. Namun, bagi saya, tidak banyak orang yang bisa menjadi ramah dengan sifat-sifat yang dipaksakan. Keramahan itu sulit, sulit bagi orang yang tidak terbiasa. Menjadi ramah sudah bukan hal tabu. Keramahan ini merupakan sifat yang baik lagi terpuji sebab tidak semua orang memilikinya. Orang yang ramah cenderung memiliki banyak teman dan hubungannya dengan orang banyak akan ebih berkesan dan berdampak baik, tentunya.
Menjumpai orang-orang ramah butuh perjuangan, tentunya. Perjuangan dalam pengertian kebiasaan untuk menegur orang dalam komunikasi yang baik. Ada banyak orang ramah yang sering dianggap kurang ramah karena tutur kata yang tidak berkesan. Ada banyak orang ramah yang menjadi kurang ramah karena perilaku kurang ramah dari orang lain. Orang ramah akan menjadi ramah bila kita ramah. Namun, kabar baiknya, ada orang ramah yang benar-benar ramah tanpa didahului oleh keramahan. Ya, dan manusia-manusia seperti itu ada di sekitar kita. Nyata.
Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang ramah? Yang ketika kita menjumpai mereka, senyum mereka merekah. Bahasa mereka mengalir santun dengan kata-kata penuh kelembutan. Sapaannya menjadikan jiwa dan hati kita terenyuh, dan tanpa sadar bahasa kita mengalir, “alangkah baiknya orang itu”.
Orang-orang ramah biasanya berasal dari keluarga yang baik-baik. Namun demikian, ada juga orang ramah yang menjadi ramah karena lingkungan yang membentuknya. Ada orang ramah yang bahkan latar belakang hidupnya penuh dengan ujian. Mereka menjadi ramah karena keadaan yang menuntutnya demikian. Yang paling berkesan, orang-orang yang menjadi ramah karena kebaikan hati dan amal-amalnya. Semoga saya, dan Anda termasuk kategori ramah tersebut. Ya, semoga demikian adanya.
Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Luar biasa bukan karena kehebatannya dalam “menaklukkan dunia.” Keluarbiasaan itu karena kebaikan akhlaknya. Ketika mendekati mereka, tawaran untuk mengulurkan tangan pun dilakukannya. Saat dalam kesulitan, tidak jarang mereka membuka diri untuk menjadi teman curhat. Bahkan dengan orang yang baru dikenalnya sekali pun. Anda pernah mengalaminya?
Orang ramah itu sungguh menyejukkan jiwa. Tidak salah bila Rasulullah sebagai contoh manusia dengan akhlak yang baik dari kepribadian seorang muslim yang baik sepanjang zaman, menjadi manusia nomor wahid yang menjadi teladan dalam keramahan.
Bila kita melirik kamus bahasa Indonesia, ramah artinya baik hati dan baik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul, dan menyenangkan. Wah, alangkah menyenangkan memiliki kawan seperti itu, ya. Sepertinya, pengertian yang lebih kompleks tersebut, amat sulit menemukan orang ramah yang sempurna itu. Sebagai seorang muslim, keramahan yang komplit itu hanya ada pada diri Rasulullah sebagai sebaik-baiknya manusia. Namun, setidaknya, memiliki keramahan sebagai manusia yang baik, walau tidak secara kompleks, sudah memiliki nilai sendiri dalam men-judge seseorang itu baik.
Melalui tulisan singkat ini, semoga saya dan pembaca bisa memahami arti penting keramahan. Walau terkesan kurang mendapat perhatian banyak orang, namun ramah tetaplah menjadi tuntutan di tengah banyaknya orang yang begitu kasar dalam bertutur kata, tertutup dalam pergaulannya, dan terkesan kurang menyenangkan saat bertemu dengannya. Ada model manusia yang sangat tidak membahagiakan saat berjumpa dengan mereka. Ada juga model manusia yang ketika tidak ada, kehadirannya sangat diharapkan.
Pernah mendengar orang berteriak dengan kalimat-kalimat yang jorok? Pernah mendengar orang bersumpah serapah memaki keluarga dan kawan-kawannya? Pernah melihat orang yang begitu bersemangat mengumbar aib sahabat dan saudaranya sesama muslim yang mengaku beriman? Pernah menemukan model manusia seperti itu? Kalau pernah, saya sangat yakin, kehadiran mereka di tengah-tengah orang sangat tidak diidamkan. Setiap kali berjumpa dengan mereka, orang-orang menutup telinga agar tidak mendengar celaannya. Saat bertatap muka, mereka begitu bangga menceritakan kebaikan dirinya dan memojokkan kebaikan orang lain di belakangnya. Hmmm, alangkah buruknya manusia seperti itu. Itu ibarat pepatah, semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Saya yakin, orang-orang model itu begitu sunyi kehidupannya. Hari-harinya dilalui penuh kepayahan sebab orang-orang baik kerap menjauh darinya. Orang baik, tentu berharap banyak kebaikan dari orang yang baik pula. Orang yang ramah juga berharap baik dari keramahan orang lain. Sebaliknya, orang yang akhlaknya buruk kecenderungannya bergaul dengan orang yang memiliki akhak serupa mereka.
Sebagai catatan akhir, orang-orang ramah itu pastilah banyak kawannya. Bahkan memungkinkan, orang-orang akan senang bersahabat dengannya sebab baiknya akhlak yang mereka miliki. Orang-orang akan senang berjalan dan bergaul bersama mereka. Setiap kebaikan akan menghampiri mereka. Tidak jarang, ketika menghadapai masalah, orang-orang akan bersedia menjadi penolongnya tanpa diminta. Begitulah, orang baik akan baik kehidupannya. Sebaliknya, orang yang kasar lagi bengis, jelaslah sedikit kawan-kawan baiknya kecuali mereka yang juga buruk akhlaknya. Saya kira demikian adanya.
Semoga, saya dan pembaca bisa menjadi orang-orang baik dengan akhlak ramah kepada siapapun yang kita jumpai. Minimal mencontoh akhlak Rasulullah sebagai sebaik-baiknya manusia yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan di dunia ini. Ya, semoga. Allahumma aamiin.
Pernah bertemu kawan lama? Hmmm, bagaimana rasanya? Senang, sedih, atau malah kabur karena ingat utang yang belum dibayar? Hehehehe. Kawan lama itu seperti mutiara. Begitu barangkali. Kalau bertemu dalam rentang waktu yang lama, ada kebahagiaan meliputi jiwa. Apalagi kawan lama itu sahabat kita sendiri.

Ada bahagia bercampur haru, tentunya. Namun, di balik pertemuan dengan kawan lama itu, menggantung banyak pertanyaan, masihkah dia seperti dahulu? Atau, mungkin dia sudah berubah, dan tidak lagi menjadi kawan yang asyik diajak ngobrol dan tertawa bersama? Hmm, mungkin itu sudah lumrah, dan tentu saja wajar sebab perpisahan lama bisa jadi mengubah segalanya.

Alinea kedua di atas mungkin pernah menjadi pengalaman Anda, tak terkecuali saya. Namun, tetap ada rasa senang berjumpa dengan mereka. Baik dengan karakternya yang sudah mulai berubah, apalagi bila mereka masih begitu-begitu saya, atau mungkin makin ancuuuur? Walah.....

Rehat Sejenak....
Hey, apa kabar? Lama ya, kita tidak bertemu? Bagimana kabarnya, kabar keluarga? Eh, anak dan istri sudah berapa, nambah lagi kah? Sekarang kerja di mana? Ke mana saja, kok tidak pernah kelihatan? Wah, begitu senangnya bertemu kawan lama. Ini pertanyaan-pertanyaan klasik kalau jadi korban pertemuan kawan lama yang sedikit cerewet.

Atau ada juga komentar begini, wah si Budi sudah berubah ya, tidak seperti dulu lagi. Sekarang dia susah diajak ngobrol, tiba-tiba jadi pendiam. Pokoknya gak enak diajak main. Nah, ini saya pelakunya, tapi gak separah itu juga sih.

Bagi saya, bertemu kawan lama bagai mengingat kembali masa lalu. Palagi masa kecil ketika masih senang bermain gundu di lapangan. Pas waktu hujan deras pula. Wah, senang dah hujan-hujanan sambil telanjang, uppps. Kalau lagi nakal-nakalnya, lempar mangga tetangga di pohonnya. tau ngejekin si dia yang lagi jatuh cinta. Walah, masih kecil kok jatuh cinta, apa kata bapaknya?

Sebagaian kawan lama masih bisa ditelusuri jejaknya. Ada yang sudah meraih gelar tinggi, kerja di kantoran, jadi pengusaha, mungkin jadi tenaga kerja di negeri orang, hingga yang namanya sudah dikubur tanah karena mangkat.

Bertemu kawan lama ini sangat membahagiakan. Apalagi bila mereka adalah sahabat kita. Sahabat yang sangat kita cintai. Eh, ini bukan naksir-naksiran loh ya. Tapi murni persahabatan. Kalau ketemu pengennya meluk karena memendam rindu. Paling banter, ngajak makan bareng atau liburan bersama keluarga. Ya, buat seru-seruan mengenang masa lalu, mungkin masa kecil kalau dia teman bermain di kampung.

Kawan-kawan yang sudah jauh, ke mana kalian? Ayao sambangi saya di sini. Semoga kalian dalam lindungan Allah, di mana pun kalian berada, Kawan lama, kutunggu kalian di sini, di kota perantauan.


Menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial, sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja ‘alamiah’, seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah satu kebutuhan dasar.”_Radhar Panca Dahana

Dengan atau tanpa bimbingan dari orang, satu tekad kuat dari seseorang yang ingin menulis pasti dapat melahirkan karya. Menulis itu bisa jadi asyik dan menyenangkan bila kita menyisihkan waktu untuk fokus. Sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Begitu kata pepatah. Menulis sedikit demi sedikit akhirnya menghasilkan karya. Dan dari hasil itulah seseorang belajar dan mempelajari teknik menulisnya sendiri. Dengan begitu, menulis jelas bukan beban.

Kaizen, barangkali pernah mendengar dan membaca istilah ini pada banyak literature dalam pengembangan perusahaan dan organisasi. Kaizen lebih popular melekat pada kehidupan masyarkat Jepang yang kemudian merambah dunia. Dunia Barat sendiri mengadopsinya sebagai suplemen untuk menstimulus semangat para pekerja dalam semua perusahaan-perusahaan besar, ruang lingkup organisasi, dan lembaga kemasyarakatan bersifat sosial. 

Istilah kaizen ini digunakan untuk memacu etos kerja para pekerja di bawah perusahaan. Di Jepang misalnya, sebelum melakukan pekerjaan, semua karyawan diwajibkan melakukan kaizen. Anggaplah kita sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan maka sebelum bekerja kita harus berkumpul dan mengucapkan berkali-kali kata-kata atau kalimat-kalimat sakti mandraguna. Misalnya, saya seorang karyawan yang cerdas, saya karyawan berprestasi, saya karyawan yang inovatif. Berkali-kali dan setiap hari. Mungkin ini latar belakang mengapa Negeri Sakura berkembang demikian pesat melampaui negara-negara lainnya di dunia.

Kembali ke kaizen. Bahasa populernya, afirmasi. “Afirmasi adalah kata-kata yang diulang terus-menerus sehingga masuk ke alam bawah sadar dan menjadi memori yang kuat untuk dipanggil sewaktu-waktu. Kekuatan afirmasi kini banyak digunakan para motivator untuk memasukkan ‘virus’ sukses ke dalam benak orang-orang yang perlu dimotivasi. Misalnya, ketika bangun tidur seseorang dianjurkan untuk melakukan afirmasi dengan kata-kata positif: “Aku pasti sukses! Hari ini aku harus lebih baik! Aku akan sukses!” Kata-kata tersebut diulang setiap kali mau tidur atau ketika bangun pagi dan akan masuk ke alam bawah sadar. 

Otak bawah sadar inilah yang akan bekerja dan diyakini membuat orang tersebut benar-benar meraih sukses.” Demikian kata-kata Bambang Trim dalam ‘Taktis Menyunting Buku’. Sebuah buku yang mengulas tentang metode menyunting buku atau naskah yang akan diterbitkan. Barangkali, dibutuhkan afirmasi agar menyunting bisa dan mudah dilakukan.

Saya pernah membaca literatur perihal arti penting kekuatan alam bawah sadar. Ternyata, sekitar 88% perilaku dan tindakan manusia untuk sukses itu dipengaruhi oleh kekuatan alam bawah sadar. Sisanya, 12% adalah kerja-kerja alam sadar. Jadi kuncinya hanya membiasakan diri menggunakan kata-kata positif untuk meyakinkan diri berbuat yang terbaik dalam kehidupan. Dan ini yang saya maksud kekuatan alam bawah sadar. Disuplay dari luar kemudian di masukkan ke dalam sisi terpendam yang sangat berpengaruh pada jiwa dan perilaku manusia. Hal itu memicu banyak tindakan. Tinggal pilah-pilih suplay yang positif atau negatif.

Berdasarkan argumentasi Bambang Trim, kita dapat menarik kesimpulan sederhana bahwa, afirmasi dapat dilakukan dalam ranah kerja apa saja dan dalam ruang lingkup di mana saja. Menjadi penulis pun demikian. Misalnya, seseorang yang memiliki niat menjadi seorang penulis melakukan afirmasi setiap kali akan memulai menulis, “Saya seorang penulis! Saya bisa menulis dengan baik! Menulis, jiwa dan raga saya!” Terus menerus sampai masuk ke alam bawah sadar. Serupa yang dikatakan Bambang Trim tadi. Inilah perlunya menanamkan tekad yang kuat terlebih dahulu, apakah benar-benar menjadikan menulis sebagai kebanggaan diri atau sekadar pelampiasan emosi

Setengah-setengah dalam menekuni dunia tulis menulis ini akan berdampak sementara pula, dan pada akhirnya menulis bukan lagi sesuatu yang menarik. Kaizen atau afirmasi pun demikian punya makna dan nilai bila kegiatan menulis menjadi sesuatu yang benar-benar dirujuk oleh hati siapapun yang hendak melahirkan karya.

Menyelami makna lain dari afirmasi atau konsep kaizen ini, Tony Barnes dalam bukunya ’Kaizen Strategies for Successful Leadership’ mengatakan, kaizen adalah perbaikan yang merupakan kombinasi makna kata dalam bahasa Jepang, kai yang berarti ‘perubahan’, dan zen yang berarti ‘baik’. Di dunia Barat, kata kaizen sebagai konsep manajemen berarti ‘perbaikan yang terus menerus’. Kaizen berarti perubahan yang terus menerus pada kualitas dan kuantitas tulisan (konsep penulis). Pada akhirnya, dengan konsep yang terus-menerus berubah atau semakin menaiki tangga perbaikan, maka akan lahir tulisan yang memiliki karakter sendiri, ruh, dan value.

Konsep lain untuk memudahkan diri bercengkerama dengan dunia tulisan, kita kenal istilah yang lebih populer dengan Brand Programming System. Brand Programming System atau yang lebih dikenal dengan visualisasi sejatinya adalah penggunaan imajinasi untuk melihat diri kita apa bisa jadinya di masa akan datang. Visualisasi telah banyak membantu orang-orang sukses dalam mewujudkan mimpinya. Saya terheran-heran, bahkan geleng-geleng kepala setelah membaca biografi dan catatan perjalanan kehidupan seorang Anne Ahira. 

Perempuan muda yang sukses itu, dahulu ‘dianggap’ sebagai pengguna narkoba karena kurangnya tidur yang menyebabkan mukanya pucat seperti orang mati katanya, mata merah, dan pernah diusir dari rumah kosnya. Bahkan ibunya ‘berpuasa’ berbicara dengannya selama berbulan-bulan hanya karena keliru menyikapi antusiasme Ahira dalam mewujudkan mimpinya. Ahira menggunakan visualisasi dan sempat bersumpah bahwa ia akan berhasil. Hasilnya, Ahira benar-benar telah menaklukkan mimpinya. Ahira kini dikenal sebagai “Ratu Internet Marketing.”

Lakukan kaizen atau afrimasi kemudian menulislah!
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!