Kenal si Budi? Pasti kenal. Bila tidak, saya sedikit ragu, apakah Anda pernah bersekolah atau tidak sebab Budi selalu ada di bangku sekolah. Ya, guru-guru bahasa terlalu sering mengambinghitamkan nama Budi di sepan kelas. Padahal Budi tidak bersalah. Kata orang, jangan balas budi karena Budi tidak bersalah. Halah, alay. Hehehe.

Akhirnya saya jadi tahu mengapa nama Budi sering disebut-sebut oleh guru di sekolah. Hal ini mengungkap fenomena Budi di Indonesia. Ternyata, nama terbanyak di Indonesia menurut BPS adalah “Budi”. Pantas saja dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di SD contoh namanya itu melulu. Gubrak!

Sebut saja Budi, alias Budiman, Budi Santoso, Budi Prasetya, Budianto, atau bahkan Budi Anduk, dan sekutunya yang lain. Nama-nama ini sering sekali kita jumpai. Maka tidak jarang si Budi menjadi nama terpopuler di Indonesia. Saya mohon maaf bila nama Anda ada dalam daftar tulisan ini. Bukan bermaksud menjelekkan, saya hanya ingin menyampaikan fakta tentang “Budi” yang sedang naik daun ini.

Apalah artinya sebuah nama. Itu pepatah orang dulu hingga sekarang. Jangan salah, nama itu penting. Bahkan dari menyebut nama, kadang seseorang bisa ditebak status sosialnya. Ini hanya kadang-kadang saja, tidak semua kasus. Yang pasti, nama itu penting. Bahkan sejak menunggu kelahiran bayi, para orang tua sudah jauh hari mencari nama untuk buah hati. Apalagi di dalam Islam, nama merupakan doa bagi anak-anak. Nama baik yang disandang seorang anak diharapkan kelak sesuai dengan kehidupan mereka ketika dewasa.

Persoalan nama itu penting. Perusahaan-perusahaan ternama tidak serta merta memberikan nama pada produknya. Bahkan nama perusahaan oleh para pengusaha tidak semudah memberi nama pada orang. Sebab nama memiliki filosofi.

Berkaitan dengan nama, ketika kuliah dahulu, dosen saya memberikan tugas agar setiap mahasiswa harus tahu arti dan makna nama kami masing-masing. Saya jadi ragu bisa menyelesaikan tugas tersebut sebab nama saya tidak berkaitan dengan apapun. Bahkan maknanya pun saya tidak tahu. Konon orang tua memberi saya nama Djulaifah yang diambil dari nama kakek. Tumbuh dan beranjak masa kanak-kanak, saya sering sakit maka digantilah nama saya oleh seorang dokter menjadi “Aswar”.

“Aswar” sebenarnya tidak memiliki makna. Tidak ada filosofinya. Maka, ketika ada yang bertanya arti nama saya, saya hanya membela diri dengan mengatakan “As” berarti Amerika Serikat, sedangkan “war” berarti perang atau memerangi. Jadi makna yang terkuak “Aswar” berarti seseorang yang kelak memerangi Amerika Serikat, hehehe. Namun, itu sekadar lelucon. Sebagian teman saya mengatakan, kata “Aswar” termasuk susah dilafalkan sehingga tidak jarang nama saya mereka ubah menjadi “Azwar, Azzuar, dan Aswad” Entahlah, bagi saya biasa saja.

Yah, apalah arti sebuah nama? Pertanyaan konyol ini tidak beralasan sebab manusia hidup butuh nama. Bukan hanya nama diri tetapi juga nama dalam pengertian yang seluas-luasnya. Perusahaan punya nama, buku-buku dan tulisan punya nama, kampus dan sekolah punya nama, mata uang punya nama, bahkan binatang melata pun punya nama.

Persoalan nama itu penting. Rumah sakit dan perusahaan yang memiliki nama internasional harus dipertanyakan kredibilitasnya bila tidak memiliki profesionalisme dalam hal pelayanan yang baik kepada pasien atau klien.

Begitu pentingnya sebuah nama hingga saya dan istri cukup sering mendiskusikan nama yang terbaik untuk buah hati tercinta. Bila stok nama memang sudah habis, ya terpaksa atau dipaksa, memakai si Budi juga no problem. Hehehe.

Berkaitan dengan pemberian nama, Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan bapak kalian, maka  perbaguslah nama kalian.” (HR. Ahmad)

Semoga bermanfaat.


Bicara soal kumis berarti bicara tentang perempuan. Eh, maksud saya laki-laki. Katanya, laki-laki berkumis idaman banyak lady, hehehe. Kumis menandakan kejantanan seorang laki-laki bukan kebetinaan. Kalau ada perempuan memakai kumis, wah patut dicurigai. Katanya, laki-laki berkumis itu pastilah ganteng, idaman perempuan. Oh, tunggu dulu. Berkumis tapi tidak terawat juga berantakan, bukan?

Jangan salah, kumis tidak hanya dimiliki oleh para laki-laki namun juga ada pada kucing. Bagaimana penampilan kucing tanpa kumis ya? Kucing, baik jantan atau betina, semua berkumis. Bahkan sejak lahir, kumisnya sudah tumbuh. Jadi, yang gantung bukan hanya laki-laki, hehehe.

Perhatian, tulisan ini tidak sepenuhnya mendukung orang-orang berkumis disebut ganteng mutlak, sebab banyak juga yang tidak berkumis tampil ganteng kok. Masalahnya, sudah kumis tidak tumbuh, ya jangan dipaksa-paksakan, hehehe. Kumiiiis, kumiiiis.

Dalam hidup, orang berkumis panjang digelari kumis terpanjang. Sebut saja Ram Singh Chauhan, seorang pria asal Jaipur, India yang oleh Guinnes World Record dinobatkan sebagai orang yang memiliki kumis terpanjang di dunia. Panjang kumisnya hingga 4,2 meter yang dirawatnya selama 32 tahun. Dalam rentang yang lama itu pun, dia tidak pernah memotong kumisnya.

Di dunia Barat sendiri, khususnya di New Orleand, Louisiana Amerika, kumis memiliki tempat di hati beberapa kalangan. Bahkan konteks kumis tidak jarang digelar untuk menunjukkan kebanggaan diri. Kontes kumis sendiri selama empat tahun terakhir terus diadakan. Wah, wah, wah, bagaimana “seramnya” kumis-kumis mereka, ya?

Saya justru heran, kenapa orang yang kumisnya tipis tidak mendapat gelar kumis terpendek? Oh, barangkali karena kumis tipis itu sudah umum, tidak istimewa. Ada juga orang yang image-nya kurang baik karena memiliki kumis tebal, panjang, plus kulitnya hitam. Kalau anak-anak kecil melihat, mereka langsung kabur, hehehe. Padahal, penampilan kadang tidak menggambarkan kepribadian. Semoga tafsir saya tidak keliru.

Tapi, by the way, kok jadi membicarakan kumis ya? Apa menariknya? Setidaknya saya ingin menyampaikan suatu hal tentang kumis yang saya harap dapat menyumbang pengetahuan baru bagi pembaca.

Kumis identik dengan orang dewasa walau kemungkinan beberapa remaja juga sudah mulai berkumis di usianya yang belia. Lihatlah anak-anak sekolah, khususnya sekolah menengah. Tidak jarang kita melihat mereka sudah berkumis. Hal itu menandakan mereka telah memasuki usia produktif untuk “berkembang biak”. Maksud saya, mereka sudah dewasa, hehehe.

Ayah saya juga berkumis. Nah, kisah kumis ayah inilah yang menginspirasi saya merangkai tulisan ini. Saya sering melihat ayah mencukur kumis dengan cermin kecil khusus yang sering beliau gunakan. Saya tidak pernah bertanya-tanya mengapa hal itu dilakukan. Bukan karena cerminnya tetapi karena keseringannya mencukur kumis. Itu pun tidak dipangkas semua. Biasanya hanya dicukur atau dirapikan agar bulu-bulu yang tumbuh di bawah hidung itu tidak melewati bibir.

Ternyata, setelah membaca literatur, saya pun menemukan jawabannya. Sebagai seorang muslim, kumis ternyata diatur juga dalam syariat. Walau tidak semasyhur jenggot, namun kumis punya aturan sendiri.

Kumis, yang notabene tanda kedewasaan, sebaiknya tidak dipanjangkan melewati bibir. Mungkin sering terlihat orang-orang berkumis yang kumisnya sampai bisa masuk ke mulutnya sendiri. Bahkan banyak yang bangga dengan kumis “belepotan”. Dalam ilmu fiqhi itu tidak baik.Pelihara kumis, potong, rapikan, jangan sampai melewati bibir, begitulah aturannya.

Ilmu agama saya termasuk minim, bahkan tidak pantas disebut ustadz. Background pengetahuan saya pun sangat jauh dan tidak bersinggungan dengan agama. Namun demikian, saya berharap apa yang saya tahu dari ilmu yang sedikit ini bisa memberikan pencerahan dan tentu berharap baik bagi kehidupan siapapun.

Nah, bagaimana penilaian Anda terhadap para pemelihara kumis? Semoga tulisan sederhana ini memberikan pencerahan. Silakan berkumis sebab saya juga berkumis. Yang penting niatnya ibadah, mengamalkan sunnah alias perintah Rasulullah, insya ALLAH berbuah banyak kebaikan.

Semoga tulisan ini tidak termasuk ekstrem apalagi disebut menggurui sebab banyak orang tidak sepakat dalam hal-hal tertentu yang bertentangan dengan kebiasaannya. Whatever, bergantung kita bagaimana membawa diri. Sebagai seorang muslim, saya yakin apapun yang diperintahkan oleh agama dan apapun yang dilarang, semua memiliki hikmahnya sendiri. Entah baik entah buruk bagi pelakunya. Saya pun mengamalkan sesuai dengan kemampuan saya.

Sebagai kesimpulan, maka tahulah saya bahwa Ayah saya telah lama mengamalkan sunnah Rasul yang mulai banyak ditinggalkan tersebut. Memotong alias merapikan kumis, misalnya. Walau saya sedikit ragu apakah Ayah tahu itu sunnah atau tidak, namun itu sudah menjadi kebanggan tersendiri bagi saya.

Semoga bermanfaat.



Seorang anak yang lahir beberapa pekan lalu terus menangis, menggertak kesunyian diiringi nyanyian nina bobo sang Ayah. Ya, begitulah. Hampir tiap malam, bahkan tiap tengah malam, tangisan bayi itu terus terngiang di telinga. Menghiasi kesunyian yang tak berkesudahan. Bahagia nian keluarga yang dikaruniai keturunan.

Anak, bagi orang tua merupakan harta paling berharga dalam hidup. Banyak pasangan yang bertahun-tahun hidup berumah tangga namun kehidupan mereka terasa sunyi, hampa, tanpa tangis bayi di rumah. Kendaraan mewah hingga rumah megah terasa tak punya arti tanpa anak. Apalah artinya hidup tanpa generasi?

Siapa gerangan yang tidak menginginkan keturunan? Semua pasangan, suami dan istri pastilah mendambakannya. Walau pada akhirnya, ada juga orang yang tidak ditakdirkan memilikinya. Ya, keluarga, tetangga, kawan, hingga sahabat sendiri, beberapa di antara mereka tidak atau belum memiliki anak. Semoga Allah lapangkan hatinya dan memberi mereka kelak keturunan yang baik-baik.

Setiap orang dewasa tentu pernah merasakan hidup sebagai bayi. Namun, siapa yang ingat masa itu? Saya sendiri tidak ingat bagaimana keadaan saya saat bayi. Bagimana saya menangis membangunkan Ibunda di tengah malam padahal hanya ngompol atau merengek meminta susu. Atau terisak-isak manja agar mendapat pelukan Ayahanda. Bahkan berkali-kali membuat Ayah dan Bunda terjaga karena “ngambek” tidak mau tidur hingga subuh.

Begitulah kehidupan masa bayi. Kini, mendengar bayi menangis di sebelah rumah, pikiran saya seolah digiring bernostalgia hidup sebagai bayi paling lucu sekampung, bahkan mungkin sedunia. Hidup seperti raja, hanya menangis, semua kebutuhan langusung dipenuhi orang tua. Bahkan mungkin, sesekali Ayah atau Bunda memaksakan diri berutang ke tetangga demi menghentikan tangis yang bertubi.

Dari lahir disambut tangis bahagia keluarga. Setiap orang memandang, saat itu pun berkali-kali pujian dialamatkan. Tak jarang doa-doa mereka lantunkan agar sang bayi tumbuh menjadi anak yang sehat, montok, lucu, saleh, dan sukses. Oh, betapa bahagia menjadi orang tua yang hari-harinya diindahkan dengan kehadiran pangeran atau puteri kecil di rumah tangganya.

Setiap bayi terlihat lucu dan menggemaskan. Inginnya mencium atau kalau tidak menyapih. Biar kecipratan bahagianya. Mengurus segala kebutuhannya terasa ringan walau hidup berkalung susah. Bagi sang Ayah, inginnya bersegera pulang kantror agar bisa bermain dengan bayi lucunya. Tidak jarang pula, perhatian Ibunda berkurang kepada Ayah demi melihat bayi mungilnya tersenyum atau melempar tawa. Ya, begitu senangnya punya anak.

Anda merasakannya? Ya, semoga. Saya pun belum merasakan bagaimana memiliki anak. Ingin rasanya masa itu segera tiba. Ketika anak lahir, orang-orang akan berkata bahwa dia mirip Ibu atau Ayahnya. Mungkin ada yang menyamakannya kepada kakek neneknya. Entah matanya, hidunya, bibirnya, atau bahkan lesung pipinya.

Tidak ada pasangan yang menolak anak bila “diberi” oleh Allah. Kehadirannyalah yang dinanti-nantikan. Tangisnyalah pemecah kesunyian dalam rumah tangga. Ya, semoga, semoga masa itu segera tiba. Masa ketika sang istri harus dilarikan ke rumah bidan atau dirujuk ke rumah sakit untuk segera bersalin. Masa yang dinanti selama berbulan-bulan atau bahkan ada yang menanti menghitung tahun. Masa untuk memecahkan tangis bahagia Ayah dan Bunda.

Belum memiliki anak? Janganlah berputus asa. Nabi Ibrahim dikaruniai anak diusianya yang tidak lagi muda, 90 tahun. Bahkan beberapa kasus, atau mungkin banyak kasus, seorang Ibu baru mengandung dan melahirkan anak pertamanya di usia senja. Hal itu tidak mustahil bagi Allah. Jadi, bersabarlah. Semoga kesabaran itu berbuah pahala dan mengetuk pintu langit.

Tangisan bayi itu selalu saja pecah. Itulah “pekerjaan” anak manusia. Namun demikian, para orang tua tidak pernah bosan mendengarkannya. Bagi mereka, tangisan bayi menjadi motivasi kehidupan untuk menjadi Ayah yang tangguh atau Bunda yang sabar, suplemen jiwa, dan pengubur gundah gulana.

Di awal tahun ini, di penghujung Januari 2014, dengan harap-harap cemas saya sedang menanti kehadiran tangis bayi. Tangisan seperti bayi yang selalu menggodaku di sebelah rumah milik Pak RT. Ya, Pak RT yang istrinya belum lama ini melahirkan anak ketiganya. Membuat saya cemburu. Cemburu karena juga mendambakan lahirnya bayi dari rahim istri tercinta. Bayi yang setiap waktu didoakan kebaikan hidupnya. Bayi yang diimpikan kelak menjadi penghapal dan pengamal Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Bayi, yang dari kerja kerasnya kelak melahirkan umat-umat terbaik di masanya. Bayi yang tidak dimiliki oleh semua orang di muka bumi. Ya, semoga.

Rabbi ‘hablii minas-shaali’hiin. Allahumma aamiin.

Ayah menantikanmu, Nak!



Kalau tinggal di perkampungan, kesunyian surau-suraunya begitu terasa. Walau demikian, ada juga beberapa kampung yang warganya rajin shalat di masjid atau di surau.Di perkotaan sendiri, masjid-masjid diramaikan hanya pada waktu-waktu kerja sebab para pekerja, selain beristirahat siang juga sambil menunaikan kewajiban shalatnya. Selain itu, entahlah.

Bicara tentang shalat berarti bicara tentang ibadah. Ibadah yang satu ini tentu berat dilakukan oleh orang-orang yang didikan agamanya minim, baik yang ia peroleh dari bangku sekolah atau dari keluarganya. Kalau kita renungi, orang-orang yang sering berlalu lalang ke masjid, tanpa embel-embel orang itu dijuluki laki-laki alim, atau perempuan salehah.

Siapa sangka, tidak setiap orang yang rajin ke masjid familiar dengan ke-alim-an sebab ada juga orang yang datang untuk sekadar menukar sandalnya dengan alas kaki milik para jamaah. Waduh, jamaah, oh jamaah! Kasus-kasus seperti itu biasanya dimotori oleh life stile  atau doktin kalimat sakti, “Ambil yang baik-baik, buang yang jelek-jelek.”

Judul tulisan ini mungkin sedikit menggelitik. Namun, demikianlah adanya. Ini berkaitan dengan seorang kawan saya. Bahkan saat itu saya anggap sebagai sahabat sebab akrabnya kami. Hampir tiap waktu shalat, kami bersua di masjid padahal rumahnya cukup jauh. Tidka banyak orang bisa seperti itu. Bila orang lain melihatnya, sudah terasa kecemerlangannya; jidat hitam, berkaca mata, pakaian selalu rapi pula.

Apa yang ada di pikiran orang ketika mendengar kata Kepribadian Ganda, atau yang lebih populer dalam ilmu psikologi disebut Multiple Personal?

Saya sendiri, ketika belum bersinggungan dengan pengidap penyakit ini, beranggapan bahwa orang jenis ini otomatis mengalami kelainan jiwa. Parahnya, kelainan yang saya sematkan pada pribadi orang-orang berkepribadian ganda lebih mengarah pada hal-hal negatif. Mungkin lebih halus disebut personal abnormal. Hal paling tidak masuk akal lagi bahwa ternyata pengidap gangguan mental emosional itu adalah kawan saya sendiri. Bahkan saya pun sempat menjadi korban.

Awalnya tidak ada tanda-tanda atau gejala abnormal pada kawan saya. Saya pun tidak menyadarinya. Semua berjalan seperti biasa. Kami bertemu, berbincang tentang banyak hal, shalat di masjid, berceloteh tentang keluarga, dan lainnya. Namun kawan saya yang sudah berkepala empat usianya itu ternyata tidak seperti yang saya ketahui.

Ketika bertandang ke rumahnya, dia ceritakanlah keadaannya, hubungan dengan istri yang hampir bercerai, gali lubang tutup lubang untuk membiayai sekolah anak-anaknya, kondisi kejiwaannya, perbuatan-perbuatan negatifnya mengelabui banyak orang, hingga dikejar-kejar polisi karena kasus utang dan penggelapan uang perusahaan.

Apa jadinya bila hal itu menimpa saya? Saya tidak cukup amal untuk membendung ujian, tidak cukup ilmu untuk banyak bersabar, bahkan tidak memiliki banyak nyawa untuk hidup menahan cibiran. Ketika bertanya ke tetangganya, bukannya kalimat pujian yang dituturkan melainkan sinis dan keengganan bahkan untuk sekadar menyebut namanya.

Saya pun pernah jadi “korbannya”. Kala itu, beliau mengatakan bahwa dia sedang butuh uang beberapa ratus ribu sebab kartu ATM-nya tertelan mesin. Tanpa pikir panjang saya berikan uang yang dia minta. Keesokan harinya, dengan alasan lain meminta bantuan lagi. Saya berikan lagi apa yang saya punya padahal sebenarnya juga butuh.

Berganti hari, pertemuan kami semakin intens. Bahkan ketika saya sakit, beliaulah yang pertama kali menjenguk ke rumah. Namun, tetap membawa niatnya, mau pinjam uang, ya saya pinjamkan karena memang masih ada. Puncaknya ketika melalui pesawat telepon beliau mengatakan kalau anaknya terkena kanker dan segera dilarikan ke RSCM Jakarta. Dana yang dibutuhkan cukup banyak. Saya jadi kebingungan ingin membantu sebab saya pun dalam keadaan sempit waktu itu.

Saya akhirnya mencari pinjaman kepada sahabat-sahabat, bahkan sempat berniat ingin pinjam ke perusahaan dengan konsekuensi potong gaji akhir bulan. Alhamdulillah, dapat, bukan dari perusahaan tetapi dari teman-teman. Ada yang memberi sejuta dan beberapa ratus ribu lainnya. Jumlahnya cukup banyak. Semua statusnya saya pinjam untuk menolong kawan saya itu.

Satu cerita dikarang lagi. Istrinya di rumah sakit, tidak bisa dihubungi. Saya jadi kelabakan dan hampir stres. Entah saya bodoh atau bagaimana, tetapi memang sifat dasar saya tidak bisa tenang bila kawan saya membutuhkan bantuan. Apapun alasannya. Kawan saya itu tidak berada di RSCM karena tersangkut kasus lain dengan kepolisian.

Tanpa pikir panjang, saya ngebut ke rumah sakit dengan niat mau mengecek langsung keadaan anaknya. Di RSCM saya naik turun tangga, tanya ke sana kemarin mencari ruangan anaknya yang dirawat. Tapi hasilnya nihil. Saya tidak berputus asa. Alamat ruangan dari dia saya cek lagi, nihil. Kemudian jantung saya hampir copot mendapat kabar melalui telepon kalau anaknya sudah meninggal. Orang tua mana yang tega mengatakan anaknya kanker? Apalagi kalau hanya berpura-pura. Ya Allah....

Saya kemudian sedikit ragu, kok sampai di RSCM saya belum bisa menemukannya? Mengetahui informasi bahwa anaknya telah meninggal, saya langsung menuju kamar mayat di Ruang Forensik. Saya tanyakan daftar pasien yang meninggal hari itu. Atas nama anak kawan saya itu, hasilnya tetap nihil. Dokter forensik meyainkan saya bahwa tidak ada nama dan mayat atas nama anak tersebut.
Marah, dendam, benci, semua menyatu dalam dada saya. Ingin saya temui dia kemudian menamparnya, ingin menginjak-injak dia tanpa ampun. Namun, sebelum pulang, saya masih meluruskan niat dan berusaha bersangka baik. Saya cek lagi di ruang tunggu dan di loket administrasi. Hasilnya juga nihil.

Setelah itu saya pun pulang. Menerobos hujan dengan motor butut. Peristiwa hari itu meninggalkan luka yang belum padam sampai hari ini.

Keesokan harinya saya tidak masuk kantor. Saya menemuinya langsung ke rumahnya. Saat berdiri di pintu rumah, saya ditarik dan diajak berbicara di luar. Diajaknya saya ke mushallah dekat rumah. Di sana, di mushallah itu, dia bercerita mengenai apa yang tidak pernah saya dengarkan langsung dari orang lain. Sambil menangis meminta maaf kepada saya. Bahkan di mushallah itu, kami sempat “guling-gulingan”, dicegatnya saya agar tidak beranjak pulang usai mendengarkan “ceramahnya”.
“Saya mengidap kepribadian ganda. Mungkin kamu tidak akan percaya. Tapi itulah faktanya. Bahkan orang-orang di sekitar saya tidak mengetahuinya. Mereka hanya tahu saya sering ke masjid namun juga sering berbuat sesuatu yang tidak bisa diterima masyarakat.” Begitu katanya. Bahkan dalam berbagai kesempatan, ketika kondisi emosionalnya tidak stabil atau dalam tekanan, kepribadiannya bisa berubah sewaktu-waktu tanpa dia sadari. Dia bisa saja menipu orang-orang yang ada di dekatnya. Bahkan karena kasus-kasus yang menimpanya itu, istrinya telah beberapa kali menggugat cerai.

“Saya bahkan pernah ikut tes kerja di perusahaan-perusahaan ternama. Hasilnya tetap saja saya tidak bisa lulus. Ketika tahap akhir seleksi melalui psikotes, hasilnya selalu menunjukkan bahwa saya mengidap penyakit jiwa ringan. Dan itu tidak bisa diterima perusahaan.” Mendengar ceritanya itu, hati saya luluh.

Sabang hari, saya bertanya ke teman-teman psikolog untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Dalam kondisi demikian, si pengidap harus mengikuti terapi. Namun ternyata, kawan saya sudah berkali-kali ikut terapi, hasilnya selalu bagus. Sayangnya, tetap saja kumat dalam kondisi jiwa mengalami tekanan.

Ya, kita memang tidak bisa menebak bagaimana seseorang bisa hidup dengan segala keterbatasannya. Membaca kisah ini, mungkin sebagian orang menganggap saya bodoh karena “meladeni” orang semacam itu. Tapi tidak. Bagi saya, kawan adalah kawan. Sebaik-baik kawan ialah mereka yang membantunya ketika kesulitan.

Perlu dipahami bahwa pengidap kepribadian ganda tidak semuanya tampak dari penampilan lahiriahnya. Ketika kita bergaul dan kondisi mental atau kejiwaan mereka sedang baik, maka semua akan baik-baik saja. Jadi, berhati-hatilah. Jangan sampai hal seperti ini menimpa kehidupan Anda.

Kepribadian ganda tidak selalu identik dengan menyukai sesama jenis. Orang awan tahu hal itu saja. Ada juga yang bisa seperti kesurupan makhluk halus. Jenis lainnya, ada yang bisa jadi sangat pendiam. Apapun itu, mereka adalah manusia yang sama dengan kita.

Perlu menjadi catatan, berdasarkan ilmu yang saya ketahui dari berbagai sumber, kasus kepribadian ganda umumnya terjadi karena beberapa hal. Faktor yang paling dominan adalah pelaku pernah mengalami kejadian traumatis di masa kecilnya, baik kekerasan fisik, psikologis, atau pada hal-hal yang berbau seksual. Hal itu membentuk karakternya hingga dewasa. Umumnya, orang yang berkepribadian ganda memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Kawan saya itu membuktikannya.

Semoga Anda tidak mengalaminya.

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!