Seorang anak yang lahir beberapa pekan lalu terus menangis, menggertak kesunyian
diiringi nyanyian nina bobo sang Ayah. Ya, begitulah. Hampir tiap malam, bahkan
tiap tengah malam, tangisan bayi itu terus terngiang di telinga. Menghiasi
kesunyian yang tak berkesudahan. Bahagia nian keluarga yang dikaruniai
keturunan.
Anak,
bagi orang tua merupakan harta paling berharga dalam hidup. Banyak pasangan
yang bertahun-tahun hidup berumah tangga namun kehidupan mereka terasa sunyi,
hampa, tanpa tangis bayi di rumah. Kendaraan mewah hingga rumah megah terasa
tak punya arti tanpa anak. Apalah artinya hidup tanpa generasi?
Siapa
gerangan yang tidak menginginkan keturunan? Semua pasangan, suami dan istri
pastilah mendambakannya. Walau pada akhirnya, ada juga orang yang tidak
ditakdirkan memilikinya. Ya, keluarga, tetangga, kawan, hingga sahabat sendiri,
beberapa di antara mereka tidak atau belum memiliki anak. Semoga Allah
lapangkan hatinya dan memberi mereka kelak keturunan yang baik-baik.
Setiap
orang dewasa tentu pernah merasakan hidup sebagai bayi. Namun, siapa yang ingat
masa itu? Saya sendiri tidak ingat bagaimana keadaan saya saat bayi. Bagimana
saya menangis membangunkan Ibunda di tengah malam padahal hanya ngompol atau
merengek meminta susu. Atau terisak-isak manja agar mendapat pelukan Ayahanda.
Bahkan berkali-kali membuat Ayah dan Bunda terjaga karena “ngambek” tidak mau
tidur hingga subuh.
Begitulah
kehidupan masa bayi. Kini, mendengar bayi menangis di sebelah rumah, pikiran
saya seolah digiring bernostalgia hidup sebagai bayi paling lucu sekampung,
bahkan mungkin sedunia. Hidup seperti raja, hanya menangis, semua kebutuhan
langusung dipenuhi orang tua. Bahkan mungkin, sesekali Ayah atau Bunda
memaksakan diri berutang ke tetangga demi menghentikan tangis yang bertubi.
Dari
lahir disambut tangis bahagia keluarga. Setiap orang memandang, saat itu pun berkali-kali
pujian dialamatkan. Tak jarang doa-doa mereka lantunkan agar sang bayi tumbuh
menjadi anak yang sehat, montok, lucu, saleh, dan sukses. Oh, betapa bahagia
menjadi orang tua yang hari-harinya diindahkan dengan kehadiran pangeran atau
puteri kecil di rumah tangganya.
Setiap
bayi terlihat lucu dan menggemaskan. Inginnya mencium atau kalau tidak
menyapih. Biar kecipratan bahagianya. Mengurus segala kebutuhannya terasa
ringan walau hidup berkalung susah. Bagi sang Ayah, inginnya bersegera pulang
kantror agar bisa bermain dengan bayi lucunya. Tidak jarang pula, perhatian
Ibunda berkurang kepada Ayah demi melihat bayi mungilnya tersenyum atau
melempar tawa. Ya, begitu senangnya punya anak.
Anda
merasakannya? Ya, semoga. Saya pun belum merasakan bagaimana memiliki anak.
Ingin rasanya masa itu segera tiba. Ketika anak lahir, orang-orang akan berkata
bahwa dia mirip Ibu atau Ayahnya. Mungkin ada yang menyamakannya kepada kakek
neneknya. Entah matanya, hidunya, bibirnya, atau bahkan lesung pipinya.
Tidak
ada pasangan yang menolak anak bila “diberi” oleh Allah. Kehadirannyalah yang
dinanti-nantikan. Tangisnyalah pemecah kesunyian dalam rumah tangga. Ya,
semoga, semoga masa itu segera tiba. Masa ketika sang istri harus dilarikan ke
rumah bidan atau dirujuk ke rumah sakit untuk segera bersalin. Masa yang
dinanti selama berbulan-bulan atau bahkan ada yang menanti menghitung tahun.
Masa untuk memecahkan tangis bahagia Ayah dan Bunda.
Belum
memiliki anak? Janganlah berputus asa. Nabi Ibrahim dikaruniai anak diusianya
yang tidak lagi muda, 90 tahun. Bahkan beberapa kasus, atau mungkin banyak
kasus, seorang Ibu baru mengandung dan melahirkan anak pertamanya di usia
senja. Hal itu tidak mustahil bagi Allah. Jadi, bersabarlah. Semoga kesabaran itu
berbuah pahala dan mengetuk pintu langit.
Tangisan
bayi itu selalu saja pecah. Itulah “pekerjaan” anak manusia. Namun demikian,
para orang tua tidak pernah bosan mendengarkannya. Bagi mereka, tangisan bayi
menjadi motivasi kehidupan untuk menjadi Ayah yang tangguh atau Bunda yang
sabar, suplemen jiwa, dan pengubur gundah gulana.
Di
awal tahun ini, di penghujung Januari 2014, dengan harap-harap cemas saya
sedang menanti kehadiran tangis bayi. Tangisan seperti bayi yang selalu
menggodaku di sebelah rumah milik Pak RT. Ya, Pak RT yang istrinya belum lama
ini melahirkan anak ketiganya. Membuat saya cemburu. Cemburu karena juga
mendambakan lahirnya bayi dari rahim istri tercinta. Bayi yang setiap waktu
didoakan kebaikan hidupnya. Bayi yang diimpikan kelak menjadi penghapal dan
pengamal Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Bayi, yang dari kerja kerasnya kelak
melahirkan umat-umat terbaik di masanya. Bayi yang tidak dimiliki oleh semua
orang di muka bumi. Ya, semoga.
Rabbi ‘hablii minas-shaali’hiin.
Allahumma aamiin.
Ayah
menantikanmu, Nak!
;-( jadi pengen....semoga saya segera menyusul ya, hmmm...selalu nulis mas aswar, sapa tau nanti ada rejeki tambahan dari blog ini. hihihi
ReplyDelete