Kalau tinggal di perkampungan, kesunyian surau-suraunya begitu terasa. Walau demikian, ada juga beberapa kampung yang
warganya rajin shalat di masjid atau di surau.Di perkotaan sendiri, masjid-masjid diramaikan hanya pada waktu-waktu kerja sebab para pekerja, selain beristirahat siang juga sambil menunaikan kewajiban shalatnya. Selain itu, entahlah.
Bicara
tentang shalat berarti bicara tentang ibadah. Ibadah yang satu ini tentu berat
dilakukan oleh orang-orang yang didikan agamanya minim, baik yang ia peroleh
dari bangku sekolah atau dari keluarganya. Kalau kita renungi, orang-orang yang
sering berlalu lalang ke masjid, tanpa embel-embel orang itu dijuluki laki-laki
alim, atau perempuan salehah.
Siapa
sangka, tidak setiap orang yang rajin ke masjid familiar dengan ke-alim-an
sebab ada juga orang yang datang untuk sekadar menukar sandalnya dengan alas
kaki milik para jamaah. Waduh, jamaah, oh
jamaah! Kasus-kasus seperti itu biasanya dimotori oleh life stile atau doktin
kalimat sakti, “Ambil yang baik-baik, buang yang jelek-jelek.”
Judul
tulisan ini mungkin sedikit menggelitik. Namun, demikianlah adanya. Ini
berkaitan dengan seorang kawan saya. Bahkan saat itu saya anggap sebagai
sahabat sebab akrabnya kami. Hampir tiap waktu shalat, kami bersua di masjid
padahal rumahnya cukup jauh. Tidka banyak orang bisa seperti itu. Bila orang
lain melihatnya, sudah terasa kecemerlangannya; jidat hitam, berkaca mata,
pakaian selalu rapi pula.
Apa
yang ada di pikiran orang ketika mendengar kata Kepribadian Ganda, atau yang
lebih populer dalam ilmu psikologi disebut Multiple
Personal?
Saya
sendiri, ketika belum bersinggungan dengan pengidap penyakit ini, beranggapan
bahwa orang jenis ini otomatis mengalami kelainan jiwa. Parahnya, kelainan yang
saya sematkan pada pribadi orang-orang berkepribadian ganda lebih mengarah pada
hal-hal negatif. Mungkin lebih halus disebut personal abnormal. Hal
paling tidak masuk akal lagi bahwa ternyata pengidap gangguan mental emosional
itu adalah kawan saya sendiri. Bahkan saya pun sempat menjadi korban.
Awalnya
tidak ada tanda-tanda atau gejala abnormal pada kawan saya. Saya pun tidak
menyadarinya. Semua berjalan seperti biasa. Kami bertemu, berbincang tentang
banyak hal, shalat di masjid, berceloteh tentang keluarga, dan lainnya. Namun
kawan saya yang sudah berkepala empat usianya itu ternyata tidak seperti yang
saya ketahui.
Ketika
bertandang ke rumahnya, dia ceritakanlah keadaannya, hubungan dengan istri yang
hampir bercerai, gali lubang tutup lubang untuk membiayai sekolah anak-anaknya,
kondisi kejiwaannya, perbuatan-perbuatan negatifnya mengelabui banyak orang,
hingga dikejar-kejar polisi karena kasus utang dan penggelapan uang perusahaan.
Apa
jadinya bila hal itu menimpa saya? Saya tidak cukup amal untuk membendung ujian,
tidak cukup ilmu untuk banyak bersabar, bahkan tidak memiliki banyak nyawa
untuk hidup menahan cibiran. Ketika bertanya ke tetangganya, bukannya kalimat
pujian yang dituturkan melainkan sinis dan keengganan bahkan untuk sekadar menyebut
namanya.
Saya
pun pernah jadi “korbannya”. Kala itu, beliau mengatakan bahwa dia sedang butuh
uang beberapa ratus ribu sebab kartu ATM-nya tertelan mesin. Tanpa pikir
panjang saya berikan uang yang dia minta. Keesokan harinya, dengan alasan lain
meminta bantuan lagi. Saya berikan lagi apa yang saya punya padahal sebenarnya
juga butuh.
Berganti
hari, pertemuan kami semakin intens. Bahkan ketika saya sakit, beliaulah yang
pertama kali menjenguk ke rumah. Namun, tetap membawa niatnya, mau pinjam uang,
ya saya pinjamkan karena memang masih ada. Puncaknya ketika melalui pesawat
telepon beliau mengatakan kalau anaknya terkena kanker dan segera dilarikan ke
RSCM Jakarta. Dana yang dibutuhkan cukup banyak. Saya jadi kebingungan ingin
membantu sebab saya pun dalam keadaan sempit waktu itu.
Saya
akhirnya mencari pinjaman kepada sahabat-sahabat, bahkan sempat berniat ingin
pinjam ke perusahaan dengan konsekuensi potong gaji akhir bulan. Alhamdulillah, dapat, bukan dari
perusahaan tetapi dari teman-teman. Ada yang memberi sejuta dan beberapa ratus
ribu lainnya. Jumlahnya cukup banyak. Semua statusnya saya pinjam untuk
menolong kawan saya itu.
Satu
cerita dikarang lagi. Istrinya di rumah sakit, tidak bisa dihubungi. Saya jadi
kelabakan dan hampir stres. Entah saya bodoh atau bagaimana, tetapi memang
sifat dasar saya tidak bisa tenang bila kawan saya membutuhkan bantuan. Apapun
alasannya. Kawan saya itu tidak berada di RSCM karena tersangkut kasus lain
dengan kepolisian.
Tanpa
pikir panjang, saya ngebut ke rumah
sakit dengan niat mau mengecek langsung keadaan anaknya. Di RSCM saya naik
turun tangga, tanya ke sana kemarin mencari ruangan anaknya yang dirawat. Tapi
hasilnya nihil. Saya tidak berputus asa. Alamat ruangan dari dia saya cek lagi,
nihil. Kemudian jantung saya hampir copot mendapat kabar melalui telepon kalau
anaknya sudah meninggal. Orang tua mana yang tega mengatakan anaknya kanker? Apalagi kalau hanya berpura-pura. Ya Allah....
Saya
kemudian sedikit ragu, kok sampai di RSCM saya belum bisa menemukannya? Mengetahui
informasi bahwa anaknya telah meninggal, saya langsung menuju kamar mayat di
Ruang Forensik. Saya tanyakan daftar pasien yang meninggal hari itu. Atas nama anak
kawan saya itu, hasilnya tetap nihil. Dokter forensik meyainkan saya bahwa
tidak ada nama dan mayat atas nama anak tersebut.
Marah,
dendam, benci, semua menyatu dalam dada saya. Ingin saya temui dia kemudian
menamparnya, ingin menginjak-injak dia tanpa ampun. Namun, sebelum pulang, saya
masih meluruskan niat dan berusaha bersangka baik. Saya cek lagi di ruang
tunggu dan di loket administrasi. Hasilnya juga nihil.
Setelah
itu saya pun pulang. Menerobos hujan dengan motor butut. Peristiwa hari itu
meninggalkan luka yang belum padam sampai hari ini.
Keesokan
harinya saya tidak masuk kantor. Saya menemuinya langsung ke rumahnya. Saat
berdiri di pintu rumah, saya ditarik dan diajak berbicara di luar. Diajaknya
saya ke mushallah dekat rumah. Di sana, di mushallah itu, dia bercerita
mengenai apa yang tidak pernah saya dengarkan langsung dari orang lain. Sambil
menangis meminta maaf kepada saya. Bahkan di mushallah itu, kami sempat “guling-gulingan”, dicegatnya saya agar tidak beranjak pulang usai
mendengarkan “ceramahnya”.
“Saya
mengidap kepribadian ganda. Mungkin kamu tidak akan percaya. Tapi itulah
faktanya. Bahkan orang-orang di sekitar saya tidak mengetahuinya. Mereka hanya
tahu saya sering ke masjid namun juga sering berbuat sesuatu yang tidak bisa
diterima masyarakat.” Begitu katanya. Bahkan dalam berbagai kesempatan, ketika
kondisi emosionalnya tidak stabil atau dalam tekanan, kepribadiannya bisa
berubah sewaktu-waktu tanpa dia sadari. Dia bisa saja menipu orang-orang yang
ada di dekatnya. Bahkan karena kasus-kasus yang menimpanya itu, istrinya telah
beberapa kali menggugat cerai.
“Saya
bahkan pernah ikut tes kerja di perusahaan-perusahaan ternama. Hasilnya tetap saja
saya tidak bisa lulus. Ketika tahap akhir seleksi melalui psikotes, hasilnya
selalu menunjukkan bahwa saya mengidap penyakit jiwa ringan. Dan itu tidak bisa
diterima perusahaan.” Mendengar ceritanya itu, hati saya luluh.
Sabang
hari, saya bertanya ke teman-teman psikolog untuk mencari jalan keluar dari
masalah tersebut. Dalam kondisi demikian, si pengidap harus mengikuti terapi.
Namun ternyata, kawan saya sudah berkali-kali ikut terapi, hasilnya selalu
bagus. Sayangnya, tetap saja kumat dalam kondisi jiwa mengalami tekanan.
Ya,
kita memang tidak bisa menebak bagaimana seseorang bisa hidup dengan segala
keterbatasannya. Membaca kisah ini, mungkin sebagian orang menganggap saya
bodoh karena “meladeni” orang semacam itu. Tapi tidak. Bagi saya, kawan adalah
kawan. Sebaik-baik kawan ialah mereka yang membantunya ketika kesulitan.
Perlu
dipahami bahwa pengidap kepribadian ganda tidak semuanya tampak dari penampilan
lahiriahnya. Ketika kita bergaul dan kondisi mental atau kejiwaan mereka sedang
baik, maka semua akan baik-baik saja. Jadi, berhati-hatilah. Jangan sampai hal
seperti ini menimpa kehidupan Anda.
Kepribadian
ganda tidak selalu identik dengan menyukai sesama jenis. Orang awan tahu hal
itu saja. Ada juga yang bisa seperti kesurupan makhluk halus. Jenis lainnya,
ada yang bisa jadi sangat pendiam. Apapun itu, mereka adalah manusia yang sama
dengan kita.
Perlu
menjadi catatan, berdasarkan ilmu yang saya ketahui dari berbagai sumber, kasus
kepribadian ganda umumnya terjadi karena beberapa hal. Faktor yang paling
dominan adalah pelaku pernah mengalami kejadian traumatis di masa kecilnya,
baik kekerasan fisik, psikologis, atau pada hal-hal yang berbau seksual. Hal itu
membentuk karakternya hingga dewasa. Umumnya, orang yang berkepribadian ganda
memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Kawan saya itu membuktikannya.
Semoga
Anda tidak mengalaminya.
0 Komentar:
Post a Comment