“Saya menangis karena tak punya sepatu,
sampai saya melihat orang yang tak punya kaki.”
_Pepatah Persia Kuno
Lead
tulisan di atas merupakan kutipan yang saya pulung dari buku ‘700 Motivasi
Dahsyat Pengguncang Dunia’ karya Ida Prastiowati, seorang penulis buku best
seller Inspiring Words. Untuk
memastikan bahwa kutipan motivasi, atau
barangkali lebih tepat saya sebut inspirasi, tersebut benar-benar sakti alias berefek pada pembaca, saya coba mengirimkannya kepada
sahabat-sahabat melalui surel.
Beberapa menit berlalu, ponsel saya pun
bergetar,
tanda adanya pesan replay.
Benar saja, beberapa teman mengapresiasi. Seorang di antaranya justru menyampaikan
terima kasih.
Hal
yang menarik ketika replay pesan saya
datang dari Jawa Barat, tepatnya di kota Bandung. Seorang sahabat menulis
begini: Saran: bisa dikembangkan menjadi
sebuah artikel,
Mas.
Untuk memastikan bahwa saya masih produktif menulis, saya jawab tantangan
tersebut. Hasilnya adalah tulisan yang sedang Anda baca ini.
“Saya menangis karena saya tak punya
sepatu….” Mengupas makna, pesan
tersirat dari kalimat tersebut merujuk pada habit
orang-orang di sekitar kita.
Kadangkala, kebutuhan dan keinginan yang tidak diraih membuat pelakunya nelangsa dan bersedih, bahkan
menyesali keadaannya. Apa yang diimpikan,
bila diraih dengan mudah dapat membuat hidup terasa bahagia gimanaaa gitu. Sebaliknya, bila impian tersebut
jauh dari harapan,
maka sebahagian besar
orang memilih sikap menggerutu, sesal, sedih dan menyesali
nasib.
Pesan
ini sarat makna sebab
mewakili hampir semua sifat dasar manusia, kurang syukur terhadap keadaannnya, kurang
rela menerima takdirnya karena merasa selalu
‘kekurangan’ walau secara hakiki mereka
terbilang kaya. Sikap itu, secara tidak sadar
memvonis keadaan diri
sendiri hingga berakibat pada
tumbuhnya penyesalan never end. Ini indikasi
bahwa seorang yang dijangkiti penyakit kurang syukur bisa terjerumus ke dalam
kufur nikmat. Kurang syukur salah satu penyebab kufur. Bahkan Allah
menegaskan, “sedikit sekali manusia itu
bersyukur”
Menyambung
pepatah di atas “… sampai saya melihat
orang yang tak punya kaki.” Insya
Allah, klausa ini sangat manjur menjadi penawar hati
bagi mereka yang kurang
syukur alias banyak keluh kesah terhadap nikmat yang luput dari
genggaman ikhtiarnya. Padahal manusia diberi sesuatu,
bahkan banyak hal,
secara cuma-cuma alias gratis dari Yang
Maha Memberi.
Secara
singkat, pepatah kuno ini
memuat tips untuk tetap menjaga rasa syukur manusia terhadap nikmat-nikmat pemberian Allah.
Rahasianya, bila punya niat
menjadi manusia ahli syukur,
lihatlah keadaan orang yang jauh di
bawah sana. Maksudnya, jauh strata sosial maupun komersialnya.
Bandingkan
nikmat besar yang selama ini kita manfaatkan sebagai pemberian dan karunia Sang
Khalik dengan nikmat-nikmat orang lain yang ‘tidak lebih baik’.
Untuk menambah rasa syukur, mungkin beberapa pertanyaan
sederhana berikut perlu kita cari tahu jawabannya.
Mengapa
ada orang yang tidak memiliki rumah hunian yang megah, bahkan tinggal di gubuk
jerami tampil dengan gagah berani menjalani kehidupannya?
Mengapa
ada banyak orang yang tidak ‘sempurna’ kehidupannya, misalnya tidak punya kaki
atau pincang, tidak punya mata alias buta, tidak dapat bersekolah tinggi karena
tercekik biaya, tidak dapat
berbicara karena bisu, tidak dapat mendengar karena tuli, tidak tumbuh subur
alias kerdil karena kekurangan gizi,
dan tidak bisa-tidak bisa lainnya namun
mereka dapat hidup seperti manusia-manusia normal di sekelilingnya?
Jawabannya,
karena mereka tidak mengeluh. Mereka pandai bersyukur. Mereka menerima dengan
ikhlas pemberian Tuhannya. Mereka meyakini
bahwa keadaan mereka hanya karena ketidaksempurnaan fisik dan itu bukan
penghalang untuk bangkit menjadi yang terbaik di mata Allah. Untuk
cacat secara ruhani atau jiwa, itu lain soal
sebab cacat fisik itu tidak ada hubungannya dengan jiwa alias iman.
Nah,
sebaliknya, mengapa sebahagian
manusia mengeluhkan keadaannya karena merasa tidak lebih beruntung dari orang
yang kaya, merasa tidak lebih bahagia karena tidak punya kendaraan mewah, dan
semacamnya? Jawabannya juga klasik, mungkin sifat syukur telah
hilang dari jiwanya.
Ketika
berkeinginan sesuatu dan tidak dapat dipenuhi,
maka berkacalah dari keadaan saudara-saudara kita di bawah kolong jembatan.
Bila ingin makanan enak dan tidak dapat terpenuhi, maka bercerminlah dari para
pengais makanan di tong-tong sampah. Bila ingin sekolah tinggi-tinggi untuk
menjadi sarjana namun tidak tercapai karena keterbatasan biaya, maka belajarlah
dari orang-orang kecil yang kini sukses tanpa sekolah tinggi, tanpa gelar-gelar
yang melekat di belakang nama mereka, bahkan tanpa pendidikan formal yang
mumpuni. Insya Allah, kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur dan mampu
mengendalikan keinginan yang sebenarnya tidak perlu.
Terakhir,
untuk sahabat saya Agus Hermawan, terima kasih telah ‘menasihati’ saya untuk
menulis Pelajaran Bersyukur ini. Dari
kalimat-kalimat dalam tulisan yang saya rangkai ini, saya pun dapat belajar
arti penting ‘berbagi’ bagi banyak orang, termasuk bagian penting dari rasa
syukur memiliki sahabat seperti Uwa ketika saya ‘kehilangan’ sahabat-sahabat terbaik.