“Membaca dan menulis bagaikan sepasang suami istri yang, dalam kesehariannya, masing-masing beraktivitas secara komplementer.”_Hernowo
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengajukan pertanyaan yang mungkin sedikit
menggelitik. Tahukah
Anda makna kalimat ini?
“Bunga yang melimpah-limpah dan indah dari pegunungan dan lembah yang
mulai mengisi udara dengan keharumannya sampai seluruh Hawaii.”
Asumsi saya, bila Anda seorang pecinta puisi,
cerita imajinasi, atau sebut saja sastrawan, kemungkinan akan memberikan jawaban, “Bunga
merupakan lambang perempuan.” Entah, apakah yang dimaksud perempuan
yang cantik, sangat cantik, kurang cantik alias tidak menarik, atau sekadar
simbol perempuan untuk mewakili sifat feminim. Biasanya simbol yang lebih melekat dan
lebih tenar untuk perempuan cantik disebut bunga mawar, atau bunga berwarna merah.
Melengkapi simbol cantik seorang perempuan, kalimat di atas ditambahkan dengan kata ‘melimpah-limpah dan
indah’. Jadi bisa disebut perempuan cantik, ditambah lagi dengan baunya yang
harum sampai ke seantero Hawaii menunjukkan makna bahwa yang dimaksud
benar-benar perempuan yang cantik dan tenar (termasyhur, red). Anda mungkin bingung.
Agar tidak multitafsir, sebenarnya kalimat itu saya pulung sari sebuah nama. Ya, nama seorang perempuan yang berasal dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Kalau saya sebut Miss Dawn N. Lee mungkin Anda lebih kenal. Nama ini cukup populer. Miss Dawn merupakan seorang perempuan cantik berkebangsaan Amerika yang tercatat pada
Februari 1967 sebagai manusia yang memiliki nama terpanjang di dunia. Waow. Kalimat di atas (nama Miss Dawn) merupakan
terjemahan dalam bahasa populer karena lebih rumit
dilafalkan dalam bahasa aslinya.
Napuamaha-laonaonekawe-hionakuahiweanena-wawakehoonkakehoaaleke-eaonanainanaina-keoa-Hawaiikawao (94 huruf).
Na, lho. Bahkan saya menuliskannya kembali dengan hati-hati agar tidak bertambah kacau. Nama ini saya ketahui setelah membaca “Buku Pintar Seri Senior” karya Iwan Gayo. Benar-benar menjadi ilmu yang sangat bermanfaat. Dalam buku tersebut bahkan
terdaftar nama
paling pendek di dunia. Nama yang
hanya terdiri atas satu vokal
atau konsonan, misalnya A, B, O, J, N, dan X. Tafsir untuk nama ini belum jelas.
Yang memiliki arti hanya E dan U, keduanya dapat dijumpai di Burma yang berarti tenang (E) dan telur (U).
Lalu apa kaitannya dengan
penulisan. Sangat erat. Bahkan keduanya komplementer. Bicara tentang menulis, suplemen yang paling mendukung adalah membaca. Menjadikan diri terbiasa
dengan bahan bacaan tidak hanya meluaskan wawasan tetapi juga menambah bobot alias kualitas tulisan. Pertanyaannya, ‘Sudahkah Anda membaca hari
ini?’
Membaca merupakan salah satu syarat yang dapat menyokong seseorang menjadi pribadi yang
sukses. Berbagai panduan, motivasi, insight,
baik yang spesifik maupun yang kompleks dapat diperoleh melalui bahan bacaan.
Kuantitas bahan bacaan yang banyak ‘dimangsa’
oleh para kutu buku sangat memengaruhi pola pikir. Bahkan banyak orang yang
memperoleh penderahan dalam kehidupannya yang sedang kalut hanya dengan membaca
sebuah buku. Tidak keliru pula bila dikatakan, membaca adalah jendela dunia yang bersumber dari semboyan, buku adalah jendela dunia. Ya, dengan membaca seisi
dunia dapat kita jelajahi. Bahkan mengenal dunia luar yang jauh di angkasa, dapat kita pijaki hanya dengan membaca. Mudah, murah, dan meriah. Yang
pasti tidak merana. Menjadikan membaca sebagai kegemaran akan melahirkan
manusia-manusia berperadaban tinggi.
Bagi seorang penulis, kebutuhan membaca sama halnya dengan kebutuhan terhadap makan dan
minum. Membaca adalah suplemen dosis tinggi untuk mewujudkan mimpi menjadi penulis berkarakter. Sangat disayangkan bila seseorang yang hendak
menulis tetapi malas dan bahkan tidak suka membaca. Walau dapat berkarya, jelas karyanya tidak bernutrisi. Tulisan harus variatif dengan membubuhkan
beragam ilmu dan informasi.
Tujuannya tidak lain agar para penikmat tulisan kita memperoleh manfaat setelah
membacanya. Dengan membaca, penulis menjadi tahu dan bisa mengukur kualitas tulisannya
bahkan sebelum orang lain membacanya.
Begitu banyak karya yang telah ditorehkan. Berlembar-lembar bahkan mungkin berpuluh
halaman, tetapi tidak mengandung ‘gizi’ karena minim wawasan. Apa yang disajikan
hanya merupakan deretan kata dan kalimat tanpa makna. Ibarat sayur tanpa garam,
rasanya hambar. Tentu tidak banyak orang yang menyukainya. Seperti itukah
karakter penulis? Entahlah. Tulisan ini dibuat bukan untuk menjawab pertanyaan
semacam itu. Pembaca barangkali lebih pintar dan lebih piawai menjawabnya.
Kadang-kadang saya terheran-heran membaca satu
dua tulisan seorang pengarang buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Apalagi bila
mereka menulis deskripsi detail tentang negara-negara kelas
dunia yang belum pernah mereka kunjungi. Atau tentang teknologi canggih yang
mereka gagas dengan brilian. Ada juga banyak pakar dalam berbagai bidang
menjadi populer hanya
karena tulisannya menyinggung soal ini itu. Setelah ditanya apa rahasianya? Jawabnya singkat, kuncinya membaca. Singkat namun padat makna. Jadi, membacalah, kemudian tunjukkan “taring-taring” melalui tulisan. Selama bisa membaca dan menulis, selama itu pula kita
tidak bisa disebut “ompong”. Maksud saya “ompong” gagasan.
Nilai sebuah buku jauh lebih mahal daripada harta. Bukulah harta sesungguhnya sebab buku mengandung banyak ilmu yang dapat menjadi pedoman menapaki kehidupan manusia. Bahkan buku menjadi penerang di waktu gelap, penyemangat di waktu
gundah, penyokong disaat tumbang, pengokoh di saat rapuh, pembela saat orang menganiaya,
dan menjadi harta termahal dibandingkan dengan harta-harta benda bermerk alias punya nama
dan mentereng.
Berkaitan dengan banyaknya manfaat buku, mari
sejenak kita menelaah perkataan Ibnu al-Jauzi berikut ini.
“Aku ingin memberitahukan tentang keadaanku
sendiri bahwa aku tidak merasa kenyang untuk membaca kitab (buku, red) yang belum pernah aku lihat, aku
seakan-akan berada di sebuah gudang penyimpanan harta.”
“Selama menuntut ilmu, aku telah membaca kitab
sebanyak dua puluh ribu jilid. Dengan rajin membaca kitab, aku bisa mengetahui
sejarah para ulama salaf, cita-cita mereka yang tinggi, hapalan mereka yang
luar biasa, ketekunan ibadah mereka, dan ilmu mereka yang aneh-aneh. Semua itu
jelas tidak akan diketahui oleh orang yang malas membaca.”
“Itulah sebabnya, dalam hal hobi membaca aku
punya kelebihan tersendiri dibandingkan dengan kebanyakan manusia. Aku sangat
prihatin akan cita-cita para penuntut ilmu sekarang ini. Dan segala puji hanya
milik Allah,” tutur Ibnu al-Jauzi.
Bagi seorang penulis, bila berniat melahirkan
karya yang bermutu, membaca merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Bahkan dalam proses kreatif, semakin banyak
membaca berarti semakin minim rekayasa.
Membaca membuka wawasan. Berbagai ide ada dalam
buku. Mungkin saja hanya satu buku, puluhan ide bertumpuk-tumpuk segera
menyerang. Dengan membaca, memudahkan kita memilah ide-ide yang cerdas, memberdayakan, dan yang laku terjual di
pasaran.
Perhatikan sekali lagi perkataan Al-Jauzi, “….dalam hal hobi membaca aku punya kelebihan tersendiri dibandingan
dengan kebanyakan manusia.” Hal inilah yang banyak membedakan kita dengan
orang lain.
Terkadang kita saksikan seorang yang pandai
berbicara dalam banyak hal, dalam banyak bidang, bahkan yang bukan bidangnya
tetapi miskin karya karena hanya mewacanakan ide-idenya. Bagaimana seandainya
mereka merumuskannya dalam wacana tertulis, dalam lembaran-lembaran kertas yang bisa ditelaah oleh lebih banyak
orang. Pasti mereka bisa tampil lebih hebat.
Menulis memiliki keutamaan dan kelebihan.
Dengan menulis, rumusan ide lebih mudah dipelajari bahkan lebih gampang diakui.
Membaca merupakan hasil dari buah pikiran penulis yang kemudian diabadikan
dalam bentuk draft. Apa yang kita baca selama ini? Jawabannya adalah buah tangan-tangan
kreatif para penulis. Tulisan ada karena ditulis.
Perhatikan pribadi-pribadi mereka yang cerdas,
rata-rata, dan hampir semua memiliki kebiasaan membaca. Mungkin itu pula salah
satu penyebab mengapa banyak orang yang menjadi penulis dapat menulis tentang
berbagai hal yang bukan spesifikasi keahliannya. Semua diperoleh dari hasil membaca, membaca, membaca, dan membaca.
Saya ingat firman Allah yang memberikan apresiasi lebih bagi
orang-orang yang berilmu bahwa Dia akan meninggikan derajat orang-orang yang
berilmu pengetahuan dibandingkan dengan orang-orang yang bodoh (yang tidak
berilmu). Satu jalan untuk memperoleh ilmu itu tentunya membaca. Baik membaca secara kasar seperti menelaah buku atau
sejenisnya, atau membaca secara maknawi, seperti merenungkan gejala dan fenomena alam yang terjadi. Allah juga membedakan orang berilmu dengan yang tidak berilmu. Pada
intinya, belajarlah (membaca) agar tidak disebut ketinggalan zaman. Khususnya membaca bagi sebesar-besarnya manfaat
ilmu dan ibadah yang diperoleh.
0 Komentar:
Post a Comment