Saya lupa kapan pertama kali saya belajar menulis, menulis artikel dan tulisan-tulisan reflektif tentang kehidupan. Yang saya ingat, beberapa karya saya pernah ditolak oleh media. Tumpukan puisi dan sekitar tiga naskah buku juga sudah jadi korban “kekejaman” penerbit. Namun demikian, ada juga beberapa yang sempat tembus media. Saya menyerah? Tidak dong. Saya terus menulis.

Pada mulanya, saya selalu yakin bahwa tulisan saya penuh ruh dan berkarakter. Pokoknya hasil tulisan saya oke punya deh. Dengan optimisme seperti itu, saya terus menulis hingga tulisan saya tidak terhitung jumlahnya. Berkaitan dengan kualitas tulisan, saya sendiri tidak pernah ambil pusing. Tetapi, titik kelemahan saya adalah, saya paling pantang bila karya saya dibaca orang. Malu rasanya. Khawatir ada yang mencela yang berakibat pada produktivitas menulis saya.

Pada beberapa situs online dan media offline, sering saya temukan orang-orang yang sangat kesulitan dalam menulis. Sama seperti saya. Walau sering menulis, saya tidak bisa membohongi diri sebab perasaan tidak bisa berkarya selalu hinggap di benak dan pikiran. Padahal, karya saya sudah banyak, menulis pun sering. Hmmm, mungkin saya kena penyakit manula alias pemula. Mengapa? Sebab saya tidak pernah berani menunjukkan karya-karya saya kepada orang. Saya menikmatinya sendiri. Saya membacanya dengan kepedean yang luar biasa. Saya tidak pernah memikirkan bagaimana orang lain menilai tulisan saya. Dibilang sombong, entahlah.

Nah, beberapa waktu yang lalu, saya mulai aktif ngeblok dan menulis di beberapa media. Bahkan sudah banyak tulisan yang menjadi konsumsi publik. Ada yang memuji dan lebih banyak yang tidak berkomentar. Entah tulisan saya jelek atau bagaimana. Mungkin mereka menjaga perasaan saya agar tidak tersinggung.

Hingga kini, saya lebih semangat dalam berkarya. Menulis sebanyak mungkin tentang apa yang menarik perhatian saya. Berteman dengan semakin banyak orang yang memiliki hobi yang sama, menulis. Membaca buku dan menulis lagi. Begitu seterusnya. Proses kreatif menulis itu saya jalani dengan baik. Bahkan sekali duduk saya bisa menyelesaikan satu artikel sederhana hingga tiga halaman. Kata orang itu hebat. Bagi saya itu biasa saja, sebab kualitasnya belum bisa diperhitungkan, hehehe. Entahlah.

Berjalannya waktu, saya semakin sadar bahwa kualitas tulisan saya perlu dibenahi, perlu ditambal sulam di sana sini. Karya-karya yang selama ini saya tulis dan saya nikmati sendiri seharusnya dibaca juga oleh orang lain agar lebih banyak manfaatnya. Dan memang itu cita-cita saya. Yang mengherankan, sampai saya geleng-geleng kepala, rasanya hati saya teriris, badan remuk manakala saya membuka kembali file-file tulisan lama yang tersimpan rapi dalam laptop. Ternyata, oh ternyata saudara-saudara, setelah membaca berlembar-lembar tulisan itu rasanya kiamat dah.

Walah, ternyata selama ini saya over convidence. Tulisan saya hancur, buruk, pokoknya tidak baguslah, begitu. Selama ini saya terlena oleh pikiran saya sendiri. Saya pun sadar, untuk disebut berkualitas, tulisan itu harus dibaca orang sebab orang lain bisa menilai dari sudut pandang berbeda. Kita tidak bisa menjadi hakim bagi tulisan-tulisan kita sendiri sebab boleh jadi kita nilai berkualitas tetapi orang lain memandangnya kacau balau. Berlaku pula sebaliknya, boleh jadi tulisan kita rasanya jelek, eh ada pembaca yang memuji-muji, katanya bagus, hebat, super, dan semacamnya. Jadi, nilai atau kualitas tulisan itu juga sebenarnya relatif. Namun, akan lebih jelas bila sudah menjadi konsumsi publik.

Pernah merasa tulisan Anda baik? Tetapi ada orang yang menilainya buruk? Hehehe, saya pernah, saya pelakunya. Suatu hari, saya menulis artikel untuk dikirimkan ke koran nasional. Alhamdulillah, dimuat. Senang, merasa bangga bisa menembus media. Kawan-kawan saya memuji. Katanya saya hebat, bisa menulis. Bahkan ada yang share ingin belajar menulis. Sebab ide mereka banyak tetapi tidak bisa dituangkan.

Tulisan yang dimuat tersebut saya kirimkan ke seorang dosen yang juga penulis buku. Biasalah, otak dosen tentu berbeda dengan otak manusia pada umumnya. Mereka, kebanyakan, walau tidak semua, berpikir lebih logis dan terstruktur. Paling tidak disebut ilmiah. Lalu apa komentarnya? Katanya tulisan saya itu termasuk kurang baik sebab strukturnya kacau. Korelasi antara satu paragraf dengan paragraf yang lain tidak jelas. Kalimat-kalimatnya begini dan begitu. Pokoknya tulisan saya tidak ada nilainya sama sekali. Hampir copot jantung saya dibuatnya.

Simpulannya, sebuah karya tulis itu memang tidak pernah sempurna. Penilaian redaksi tentu berbeda dengan pembaca pada umumnya, apalagi yang awam. Bagi saya, sebuah tulisan yang sudah mewujud kemudian orang lain mengambil manfaatnya itu sudah cukup. Soal kualitas tulisan itu belakangan. Itu prinsip yang saya pegang. Namun, saya tetap terbuka menerima saran tapi jangan dicacimaki ya, sebab saya sensitif.

Saya memang sarjana, sarjana pendidikan, pernah belajar tentang aturan kebahasaan. Namun terus terang, saya lebih menikmati menulis tanpa aturan. Saya menulis mengalir saja. Apa yang mau saya tulis, ya ditulis sampai selesai. Alasan yang paling logis, karena saya menulis bukan untuk tujuan ilmiah seperti disertasi, tesis, atau skripsi. Saya juga tidak menulis untuk ikut lomba. Saya menulis untuk merdeka. Itu saja.

Semakin sering saya membaca tulisan-tulisan lama saya, maka semakin sadarlah saya bahwa tulisan saya kurang berkualitas. Kepaduan kalimat dan paragraf kadang tidak jelas. Pesannya berantakan. Tanda bacanya juga tidak mau kalah, hancur banget dah. Namun, di sanalah saya belajar menulis. Berkaca dari tulisan yang sudah pernah saya rangkai itulah saya membenahi kesalahan-kesalahan, sedikit demi sedikit. Tidak masalah jika harus menjalani proses yang panjang. Selama hal itu manfaat, lakukan saja.

Seberapa buruk tulisan Anda? Mudah-mudahan tidak seburuk tulisan saya. Jalani proses dan Anda akan terkagum-kagum banyaknya karya yang bisa Anda buat. Trust me.


Categories:

3 comments:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!